KEBIJAKAN ANGGARAN DEFISIT
Sejak Indonesia ditimpa sejumlah gejolak ekonomi eksternal, pemerintah akhirnya memastikan revisi APBN 2008 lebih awal dari waktu biasanya, bulan Juli. Salah satu perubahan pokok terletak pada peningkatan defisit anggaran dari 1,7% PDB menjadi 2% PDB. Selain defisit, beberapa asumsi dan target makro ekonomi dipastikan mengalami revisi seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, lifting minyak, harga minyak mentah, dan lain-lain.
Pada dasarnya terdapat tiga gejolak eksternal yang berimbas pada perekonomian Indonesia. Pertama, lonjakan drastis harga minyak mentah dunia hingga sempat menyentuh level psikologis USD 100 per barel. Beruntunglah, harga minyak kembali turun dan berfluktuasi di posisi USD 80-90 per barel. Namun, angka ini tergolong masih tinggi dari harga normal yaitu kisaran USD 60 per barel, atau sesuai asumsi APBN 2008, sehingga subsidi BBM yang dibiayai APBN tetap membengkak.
Kedua, lonjakan harga internasional beberapa produk dan bahan pangan, salah satunya kedelai yang mengalami kenaikan dramatis hingga di atas 100%. Masalahnya, beberapa produk dan bahan pangan yang harganya melonjak, sebagian diimpor untuk memenuhi kekurangan produksi domestik. Dalam kondisi krisis pangan, lonjakan harga ini mendorong pemerintah meningkatkan anggaran subsidi pangan yang juga dibiayai APBN.
Ketiga, perlambatan ekonomi Amerika Serikat, terutama disebabkan efek multiplier (ganda) krisis kredit macet perumahan. Krisis ini berlangsung lebih lama, melebihi prediksi ahli ekonomi, sebab respon positif pasar terhadap kebijakan pemerintah berupa pengucuran dana miliaran dolar dan penurunan suku bunga utama Bank Sentral AS, tidak banyak berarti. Dengan demikian, perbankan di AS masih ragu-ragu mengucurkan kredit untuk menghindari kerugian bila bernasib sama dengan kredit perumahan. Tidak optimalnya perbankan menjalankan fungsi intermediasi membuat beberapa sektor usaha yang bergantung pada kredit jadi stagnan, dan akhirnya berpengaruh pada perlambatan ekonomi. Padahal, perekonomian AS merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi dunia. Karena itu, bila ekonomi AS melambat, secara langsung menurunkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Kondisi Indonesia yang makin terintegrasi dengan perekonomian dunia yang dijalin melalui perdagangan internasional, tidak bisa dimungkiri tidak mengalami perlambatan pertumbuhan ekspor, sehingga ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Fenomena pertama dan kedua merupakan penyebab utama membengkaknya belanja, seiring peningkatan subsidi. Subsidi BBM diperkirakan meningkat dari Rp 45,8 triliun menjadi Rp 116,8 triliun dan subsidi listrik meningkat dari Rp 29,8 triliun menjadi Rp 54,2 triliun. Untuk menjaga stabilitas harga pangan dalam negeri, anggaran subsidi pangan Rp 7,2 triliun di APBN tentu jauh di bawah kebutuhan stabilisasi, sehingga dibutuhkan tambahan anggaran yang tidak sedikit. Karena itu, dalam revisi APBN 2008, pemerintah mengusulkan kenaikan defisit APBN dari rencana awal Rp 73,3 triliun atau 1,7% PDB menjadi Rp 87,3 triliun atau 2% PDB. Penerimaan negara naik dari Rp 781,3 triliun menjadi Rp 823,3 triliun. Sedangkan belanja negara juga meningkat dari Rp 854,6 triliun menjadi Rp 910,6 triliun. Dengan demikian, pembengkakan belanja terus terjadi meski revisi plus sembilan langkah penyelamatan APBN diimplementasikan. Sembilan langkah tersebut adalah optimalisasi perpajakan, PNBP, dan dividen BUMN; penggunaan dana cadangan APBN; penghematan dan penajaman prioritas belanja kementerian/lembaga negara; perbaikan parameter produksi dan subsidi BBM dan listrik; program hemat energi dan efisiensi di Pertamina dan PLN; pemanfaatan dana kelebihan di daerah; penerbitan obligasi dan optimalisasi pinjaman program; pengurangan beban pajak komoditas pangan strategis; penambahan subsidi pangan. Namun, dampak lebih parah lagi bila langkah-langkah tersebut tak diimplementasikan. Diperkiran defisit membengkak menjadi 4,2% PDB atau Rp 185,4 triliun.
Defisit anggaran terjadi bila belanja pemerintah melebihi penerimaan. Selisih atau kelebihan belanja dari penerimaan sama jumlahnya dengan besarnya defisit. Dengan demikian, besaran defisit selalu sama dengan utang pemerintah yang dibutuhkan untuk menutupi belanja. Peningkatan jumlah defisit anggaran sampai batas tertentu, biasanya proporsi PDB, secara teoritis dibenarkan. Sebab dalam suatu siklus, perekonomian tidak selalu mengalami posisi di mana penerimaan di atas belanja, apalagi bila terdapat gejolak ekonomi eksternal seperti saat ini. Namun, defisit yang terlalu berlebihan dikhawatirkan mengancam stabilitas keuangan negara, seperti kejadian di AS, sehingga pasar kurang percaya pada kemampuan fiskal pemerintah. Di negara berkembang, biasanya batas aman defisit tidak melebihi 3% PDB.
Posisi APBN sebagai alat penyelamat perekonomian dari gejolak eksternal harus benar-benar dioptimalkan. Meski sifatnya jangka pendek, harapannya APBN tetap mampu menjalankan tiga fungsi utamanya yakni stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Karena itu, kebijakan anggaran dengan peningkatan defisit merupakan langkah paling tepat saat ini. Namun, letak masalah yang kerapkali disoroti adalah sumber pembiayaan. Akumulasi utang pemerintah dari domestik dan asing telah menjadi masalah tersendiri bagi perekonomian. Apalagi bila si kreditor mensyaratkan ikut campur tangan pada perumusan kebijakan pemerintah. Trauma atas penyakit utang yang dimunculkan rezim orde baru, nampaknya akan menggeser sumber pembiayaan defisit pada penerbitan obligasi atau surat utang pemerintah. Langkah ini dinilai lebih aman, bisa dikontrol, dan lepas dari intervensi kreditor.
Di tengah gejolak eskernal, harapan kita agar langkah yang ditempuh pemerintah merupakan yang terbaik buat kesehatan keuangan negara dan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Bagaimanapun juga, perekonomian Indonesia yang makin terintegrasi dengan dunia memang menjadi risiko tersendiri bila terjadi gejolak seperti saat ini. Sebagai negara ekonomi kecil, Indonesia tidak punya kuasa mengentikan gejolak yang layaknya badai yang siap memporak-porandakan perekonomian. Namun, kita tetap punya kuasa memperkokoh “rumah” ekonomi yang dibangun oleh multi landasan, salah satunya melalui kebijakan fiskal yang ditopang APBN.
SUMBER : http://randikurniawan.blogspot.com/2008/02/kebijakan-anggaran-defisit.html
Pada dasarnya terdapat tiga gejolak eksternal yang berimbas pada perekonomian Indonesia. Pertama, lonjakan drastis harga minyak mentah dunia hingga sempat menyentuh level psikologis USD 100 per barel. Beruntunglah, harga minyak kembali turun dan berfluktuasi di posisi USD 80-90 per barel. Namun, angka ini tergolong masih tinggi dari harga normal yaitu kisaran USD 60 per barel, atau sesuai asumsi APBN 2008, sehingga subsidi BBM yang dibiayai APBN tetap membengkak.
Kedua, lonjakan harga internasional beberapa produk dan bahan pangan, salah satunya kedelai yang mengalami kenaikan dramatis hingga di atas 100%. Masalahnya, beberapa produk dan bahan pangan yang harganya melonjak, sebagian diimpor untuk memenuhi kekurangan produksi domestik. Dalam kondisi krisis pangan, lonjakan harga ini mendorong pemerintah meningkatkan anggaran subsidi pangan yang juga dibiayai APBN.
Ketiga, perlambatan ekonomi Amerika Serikat, terutama disebabkan efek multiplier (ganda) krisis kredit macet perumahan. Krisis ini berlangsung lebih lama, melebihi prediksi ahli ekonomi, sebab respon positif pasar terhadap kebijakan pemerintah berupa pengucuran dana miliaran dolar dan penurunan suku bunga utama Bank Sentral AS, tidak banyak berarti. Dengan demikian, perbankan di AS masih ragu-ragu mengucurkan kredit untuk menghindari kerugian bila bernasib sama dengan kredit perumahan. Tidak optimalnya perbankan menjalankan fungsi intermediasi membuat beberapa sektor usaha yang bergantung pada kredit jadi stagnan, dan akhirnya berpengaruh pada perlambatan ekonomi. Padahal, perekonomian AS merupakan penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi dunia. Karena itu, bila ekonomi AS melambat, secara langsung menurunkan rata-rata pertumbuhan ekonomi dunia. Kondisi Indonesia yang makin terintegrasi dengan perekonomian dunia yang dijalin melalui perdagangan internasional, tidak bisa dimungkiri tidak mengalami perlambatan pertumbuhan ekspor, sehingga ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Fenomena pertama dan kedua merupakan penyebab utama membengkaknya belanja, seiring peningkatan subsidi. Subsidi BBM diperkirakan meningkat dari Rp 45,8 triliun menjadi Rp 116,8 triliun dan subsidi listrik meningkat dari Rp 29,8 triliun menjadi Rp 54,2 triliun. Untuk menjaga stabilitas harga pangan dalam negeri, anggaran subsidi pangan Rp 7,2 triliun di APBN tentu jauh di bawah kebutuhan stabilisasi, sehingga dibutuhkan tambahan anggaran yang tidak sedikit. Karena itu, dalam revisi APBN 2008, pemerintah mengusulkan kenaikan defisit APBN dari rencana awal Rp 73,3 triliun atau 1,7% PDB menjadi Rp 87,3 triliun atau 2% PDB. Penerimaan negara naik dari Rp 781,3 triliun menjadi Rp 823,3 triliun. Sedangkan belanja negara juga meningkat dari Rp 854,6 triliun menjadi Rp 910,6 triliun. Dengan demikian, pembengkakan belanja terus terjadi meski revisi plus sembilan langkah penyelamatan APBN diimplementasikan. Sembilan langkah tersebut adalah optimalisasi perpajakan, PNBP, dan dividen BUMN; penggunaan dana cadangan APBN; penghematan dan penajaman prioritas belanja kementerian/lembaga negara; perbaikan parameter produksi dan subsidi BBM dan listrik; program hemat energi dan efisiensi di Pertamina dan PLN; pemanfaatan dana kelebihan di daerah; penerbitan obligasi dan optimalisasi pinjaman program; pengurangan beban pajak komoditas pangan strategis; penambahan subsidi pangan. Namun, dampak lebih parah lagi bila langkah-langkah tersebut tak diimplementasikan. Diperkiran defisit membengkak menjadi 4,2% PDB atau Rp 185,4 triliun.
Defisit anggaran terjadi bila belanja pemerintah melebihi penerimaan. Selisih atau kelebihan belanja dari penerimaan sama jumlahnya dengan besarnya defisit. Dengan demikian, besaran defisit selalu sama dengan utang pemerintah yang dibutuhkan untuk menutupi belanja. Peningkatan jumlah defisit anggaran sampai batas tertentu, biasanya proporsi PDB, secara teoritis dibenarkan. Sebab dalam suatu siklus, perekonomian tidak selalu mengalami posisi di mana penerimaan di atas belanja, apalagi bila terdapat gejolak ekonomi eksternal seperti saat ini. Namun, defisit yang terlalu berlebihan dikhawatirkan mengancam stabilitas keuangan negara, seperti kejadian di AS, sehingga pasar kurang percaya pada kemampuan fiskal pemerintah. Di negara berkembang, biasanya batas aman defisit tidak melebihi 3% PDB.
Posisi APBN sebagai alat penyelamat perekonomian dari gejolak eksternal harus benar-benar dioptimalkan. Meski sifatnya jangka pendek, harapannya APBN tetap mampu menjalankan tiga fungsi utamanya yakni stabilisasi, alokasi, dan distribusi. Karena itu, kebijakan anggaran dengan peningkatan defisit merupakan langkah paling tepat saat ini. Namun, letak masalah yang kerapkali disoroti adalah sumber pembiayaan. Akumulasi utang pemerintah dari domestik dan asing telah menjadi masalah tersendiri bagi perekonomian. Apalagi bila si kreditor mensyaratkan ikut campur tangan pada perumusan kebijakan pemerintah. Trauma atas penyakit utang yang dimunculkan rezim orde baru, nampaknya akan menggeser sumber pembiayaan defisit pada penerbitan obligasi atau surat utang pemerintah. Langkah ini dinilai lebih aman, bisa dikontrol, dan lepas dari intervensi kreditor.
Di tengah gejolak eskernal, harapan kita agar langkah yang ditempuh pemerintah merupakan yang terbaik buat kesehatan keuangan negara dan keberlanjutan pembangunan ekonomi. Bagaimanapun juga, perekonomian Indonesia yang makin terintegrasi dengan dunia memang menjadi risiko tersendiri bila terjadi gejolak seperti saat ini. Sebagai negara ekonomi kecil, Indonesia tidak punya kuasa mengentikan gejolak yang layaknya badai yang siap memporak-porandakan perekonomian. Namun, kita tetap punya kuasa memperkokoh “rumah” ekonomi yang dibangun oleh multi landasan, salah satunya melalui kebijakan fiskal yang ditopang APBN.
SUMBER : http://randikurniawan.blogspot.com/2008/02/kebijakan-anggaran-defisit.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar