Kamis, 15 Desember 2011

Potensi dan Masalah Pembiayaan KUMKM


Potensi dan Masalah Pembiayaan KUMKM


Abstrak
PERAN koperasi, usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM) telah terbukti memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, demikian juga terhadap penyerapan tenaga kerja. Hal ini dapat dilihat dari catatan sejarah tentang krisis ekonomi, baik pada 1997 maupun pada 2008, KUMKM merupakan sektor yang tidak terkena dampak krisis.

Pendahuluan
Salah satu yang menarik adalah potensi UMKM yang ditunjukkan oleh keberadaannya sekitar 49,7 juta unit usaha pada 2007, dengan kegiatan usaha yang mencakup hampir semua lapangan usaha, serta tersebar di seluruh tanah air. Pemberdayaan KUMKM akan mendukung peningkatan produktivitas, penyediaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan bagi masyarakat miskin. Kegiatan UMKM menyerap 96,8 persen dari seluruh pekerja yang berjumlah 80,3 juta pekerja. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) pada 2007 sebesar 54,2 persen, dengan laju pertumbuhan nilai tambah 6,3 persen. Angka pertumbuhan tersebut melampaui laju pertumbuhan nilai tambah untuk usaha besar. Sementara itu, sampai akhir 2007, jumlah koperasi telah mencapai 132.000 unit, dengan anggota 27,3 juta orang.

PEMBAHASAN
Melihat statistik tersebut maka KUMKM sangat eksotis, seksi, dan menarik bagi kalangan lembaga pembiayaan seperti lembaga keuangan (bank dan nonbank-red.). Hanya, KUMKM ibarat gadis ndeso yang sangat polos, lugu, dan jujur, sehingga untuk pendekatannya pun perlu strategi dan taktik yang sesuai dengan karakteristik KUMKM. Di sisi lain, KUMKM sebagai pelaku usaha memerlukan kehadiran lembaga keuangan untuk kepentingan modal kerja ataupun investasi.
Namun, karena terdapat keterbatasan di kedua belah pihak, jalinan hubungan baik antara keduanya sulit terjadi. Untuk itu, kedua belah pihak perlu menyamakan sudut pandang dan bahasa, agar dapat terjalin hubungan yang harmonis.
Dari sisi sudut pandang, terutama dikaitkan dengan prinsip prudential (kehati-hatian) lembaga keuangan. Hal ini harus dapat dimengerti oleh KUMKM sebagai prasyarat utama yang disepakati bersama. Jika tidak maka tidak akan muncul trust (kepercayaan). Padahal, hal itu modal dasar dalam hubungan bisnis.

kesimpulan
Biasanya lembaga keuangan menerapkan persyaratan tinggi untuk prinsip kehati-hatian ini, sehingga sulit untuk dipenuhi beberapa KUMKM terutama bagi yang belum bankable (layak dari sisi bank). Jika terjadi, KUMKM akan menuding lembaga keuangan arogan.
Dari sisi bahasa, KUMKM mempunyai latar belakang intelektual yang berbeda dengan mereka di lembaga keuangan. Terkadang pemahaman bahasa menjadi kendala terutama bahasa atau istilah-istilah dalam bidang keuangan. Komunikasi sebagai modal untuk menjalin hubungan baik, maka perlu digunakan bahasa atau istilah-istilah yang mudah dan dipahami oleh KUMKM. Penulis, Kepala Balai Konsultasi dan Pendampingan Kredit UMKM IKOPIN.
Daftar pustaka : http://www.ikopin.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=204:potensi-dan-masalah-pembiayaan-kumkm-oleh-heri-nugraha&catid=64:artikel-ukm&Itemid=89
NAMA KELOMPOK
GARNIS SUCIATI SUKANDA 22210955
RATNA SAPITRI 25210671

(PERKEMBANGAN EKONOMI DI INDONESIA)


(PERKEMBANGAN EKONOMI DI INDONESIA)


ABSTRAK
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi.
PENDAHULUAN
Koperasi yang didirikan pertama kali yaitu koperasi perkreditan yang bertujuan untuk membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Dengan adanya koperasi diharapkan akan dapat meringankan beban rakyat terhadap hutang yang lebih menyengsarakan rakyat akibat bunga yang terlalu tinggi.
Rumusan Masalah
Koperasi yang didirikan pertama kali yaitu koperasi perkreditan yang bertujuan untuk membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Dengan adanya koperasi diharapkan akan dapat meringankan beban rakyat terhadap hutang yang lebih menyengsarakan rakyat akibat bunga yang terlalu tinggi. Namun dalam pelaksanaannya selalu saja mengalami hambatan, sehingga koperasi tidak dapat berkembang.

PEMBAHASAN

Keadaan Perekonomian Indonesia Pada Masa Ekonomi Liberal
Sistem ekonomi liberal mulai dilaksanakan di Hindia Belanda (nama Indonesia ketika masih dijajah Belanda) setelah pemerintah kolonial Belanda menghentikan pelaksanaan “Cultuur Stelseel (sistem tanam paksa). Sejak saat ini para penanam modal/usahawan Belanda berlomba menginvestasikan dananya ke Hindia Belanda. Bangsa Belanda melakukan praktik penindasan, pemerasan dan pemerkosaan hak tanpa prikemanusiaan makin berlangsung ganas, sehingga kemudian kehidupan sebagian besar rakyat di bawah batas kelayakan hidup.
Dalam keadaan hidup demikian, pihak kolonial terus-menerus mengintimidasi penduduk pribumi sehingga kondisi sebagian besar rakyat sangat memprihatinkan. Di samping itu para rentenir, pengijon dan lintah darat turut pula memperkeruh suasana. Mereka berlomba mencari keuntungan yang besar dan para petani yang sedang menghadapi kesulitan hidup, sehingga tidak jarang terpaksa melepaskan tanah miliknya sehubungan dengan ketidakmampuan mereka mengembalikan hutang-hutangnya yang membengkak akibat sistem bunga berbunga yang diterapkan pengijon.
Timbulnya Cita -Cita Pembentukan Koperasi di Indonesia
Penindasan yang terus menerus terhadap rakyat Indonesia berlangsung cukup lama menjadikan kondisi umum rakyat parah. Namun demikian masih beruntung semangat bergotong royong masih tetap tumbuh dan bahkan berkembang makin pesat. Di samping itu kesadaran beragama juga semakin tinggi. Pada saat itulah mulai tumbuh keinginan untuk melepaskan dari keadaan yang selama ini mengungkung mereka. Pemerintah Hindia Belanda tak segan- segan menyiksa mereka baik fisik maupun mental. Sementara itu para pengijon dan lintah darat memanfatkan kesempatan dan keadaan mereka sehingga makin banyak yang terjepit hutang yang mencekik leher. Dari keadaan itulah timbul keinginan untuk membebaskan kesengsaraan rakyat dengan membentuk koperasi.
Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI.Adanya Politik Etis Belanda membuktikan adanya beberapa orang Belanda yang turut memikirkan nasib penderitaan/kesengsaraan rakyat Indonesia seperti halnya berkaitan dengan koperasi tanah air kita yaitu E. Sieburgh dan De Wolf van Westerrede. Kedua nama tersebut banyak kaitannya dengan perintisan koperasi yang pertama-tama di tanah air kita, yaitu di Purwokerto.
Terwujudnya Pendirian Koperasi
Sementara itu pergerakan nasional untuk mengusir penjajah tumbuh di mana-mana. Kaum pergerakan pun dalam memperjuangkan mereka memanfaatkan sektor perkoperasian ini. Titik awal perkembangan perkoperasian di bumi Nusantara ini bertepatan dengan berdirinya perkumpulan “Budi Utomo” pada tahun 1908. Pergerakan kebangsaan yang dipimpin oleh Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo inilah yang menjadi pelopor dalam industri kecil dan kerajinan melalui keputusan Kongres Budi Oetomo di Yogyakarta kala itu ditetapkan, bahwa:
•Memperbaiki dan meningkatkan kecerdasan rakyat melalui bidang pendidikan.
•Memperbaiki dan meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui koperas

Sebagai wujud pelaksanaan keputusan kongres tersebut, maka dibentuldah koperasi konsumsi dengan nama “Toko Adil”. Sejak saat inilah arus gerakan koperasi internasional mulai masuk mempengaruhi gerakan koperasi Indonesia, yaitu terutama melalui penggunaan sendi-sendi dasar atau prinsip-prinsip Rochdale itu. Sendi-sendi dasar demokrasi serta dimensi kesamaan hak mulai dikenal dan diterapkan. Dan pada tahun 1912, sendi dasar ini juga yang dipakai oleh organisasi Serikat Islam.

Campur Tangan Belanda Dalam P erkembangan Koperasi Indonesia
Pemerintah Hindia Belanda bersikap tak acuh dan apatis terhadap gejala yang tumbuh di dalam kehidupan beroganisasi di kalangan penduduk pribumi saat itu. Baru pada tahun 1915 disadari bahaya laten dan sendi-sendi dasar demokrasi yang dianut pergerakan-pergerakan rakyat itu. Pemerintah kolonial lalu mengeluarkan peraturan yang pertama kali mengatur cara kerja koperasi, yang sifatnya lebih membatasi ruang gerak perkoperasian. Karena Belanda khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, mengeluarkan UU no. 431 tahun 19 yang isinya yaitu :
-Harus membayar minimal 50 gulden untuk mendirikan koperasi
-Sistem usaha harus menyerupai sistem di Eropa
-Harus mendapat persetujuan dari Gubernur Jendral
-Proposal pengajuan harus berbahasa Belanda
Hal ini menyebabkan koperasi yang ada saat itu berjatuhan karena tidak mendapatkan izin Koperasi dari Belanda. Namun setelah para tokoh Indonesia mengajukan protes, Belanda akhirnya mengeluarkan UU no. 91 pada tahun 1927, yang isinya lebih ringan dari UU no. 431 seperti :
- Hanya membayar 3 gulden untuk materai
- Bisa menggunakan bahasa derah
- Hukum dagang sesuai daerah masing-masing
- Perizinan bisa di daerah setempat
Koperasi menjamur kembali hingga pada tahun 1933 keluar UU yang mirip UU no. 431 sehingga mematikan usaha koperasi untuk yang kedua kalinya. Adanya peraturan yang baru ini membuat pergerakan perkoperasian nasional mengalami kesulitan untuk berkembang. Kesulitan pelaksanaan koperasi tidak saja dialami oleh Budi Oetomo, melainkan juga dialami oleh pergerakan- pergerakan lainnya, seperti Serikat Dagang Islam (SDI) yang dilahirkan pada tahun 1911 silam dipimpin oleh H. Samanhudi.
Kesimpulan
Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia. Pada masa Jepang berkuasa di Indonesia koperasi tidak mengalami perkembangan tetapi justru mengalami kehancuran. Jepang lalu mendirikan ”Kumiai”, yaitu koperasi model Jepang. Tugas Kumiai mula-mula menyalurkan barang-barang kebutuhan rakyat yang pada waktu itu sudah mulai sulit kehidupannya. Politik tersebut sangat menarik perhatian rakyat sehingga dengan serentak di Indonesia dapat didirikan Kumiai sampai ke desa-desa. Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun fungsinya berubah drastis dan menjadi alat jepang untuk mengeruk keuntungan, dan menyengsarakan rakyat.Jelaslah bahwa Kumiai sangat merugikan perekonomian rakyat, sehingga kepercayaan rakyat terhadap koperasi hilang. Hal ini merupakan kerugian moral untuk pertumbuhan koperasi selanjutnya.

Daftar pustaka : http://d3d3v1a.wordpress./2010/10/14/jurnal-ekonomi-koperasi-perkembangan-ekonomi-di-indonesia/
nama kelompok :
GARNIS SUCIATI SUKANDA 22210955
RATNA SAPITRI 25210671

KOPERASI INDONESIA: POTRET DAN TANTANGAN


KOPERASI INDONESIA: POTRET DAN TANTANGAN


Oleh: Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
ABSTRAK
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.
PENDAHULUAN
Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
ISI
Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
Selama ini “koperasi” di¬kem¬bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar ba¬gi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pem¬bangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan seperti yang se-lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pem¬bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
II. Potret Koperasi Indonesia
Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter¬sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD.
Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar Perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.
Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi.

III. Kemanfaatan Koperasi
Secara teoritis sumber kekuatan koperasi sebagai badan usaha dalam konteks kehidupan perekonomian, dapat dilihat dari kemampuan untuk menciptakan kekuatan monopoli dengan derajat monopoli tertentu. Tetapi ini adalah kekuatan semu dan justru dapat menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat di luar koperasi. Sumber kekuatan lain adalah kemampuan memanfaatkan berbagai potensi external economies yang timbul di sekitar ke¬giat¬an ekonomi para anggotanya. Dan kehematan tersebut ha¬nya dapat dinikmati secara bersama-sama, termasuk dalam hal menghindarkan diri dari adanya external diseconomies itu.
Kehematan-kehematan yang dapat menjadi sumber kekuatan ko¬perasi memang tidak terbatas pada nilai ekonomis nya sema¬ta. Kekuatan itu juga dapat bersumber dari faktor non-ekono¬mis yang menjadi faktor berpengaruh secara tidak langsung ter¬hadap kegiatan ekonomi anggota masyarakat dan badan usaha koperasi. Sehingga manfaat atau keuntungan koperasi pada dasarnya selalu ter¬kait dengan dua jenis manfaat, yaitu yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata (intangible). Kemanfaatan koperasi ini ju¬ga selalu berkaitan dengan keuntungan yang bersifat eko¬no¬mi dan sosial. Karena koperasi selain memberikan keman¬fa¬atan ekonomi juga mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap aspek so¬sial seperti pendidikan, suasana sosial kemasyarakatan, ling¬kungan hidup, dan lain-lain. Pembahasan ini difokuskan kepa¬da manfaat yang mendasari digunakannya mekanisme koperasi.
Dalam hal ini koperasi mempunyai kekuatan yang lain kare¬na koperasi dapat memberikan kemungkinan pengenalan teknologi baru melalui kehematan dengan mendapatkan infor¬masi yang langsung dan tersedia bagi setiap anggota yang me¬mer¬lukannya. Kesemuanya itu dilihat dalam kerangka peran¬¬an koperasi secara otonom bagi setiap individu anggotanya yang te¬lah memutuskan menjadi anggota koperasi. Dengan de¬mi¬kian sepanjang koperasi dapat menghasilkan kemanfaatan ter¬sebut bagi anggotanya maka akan mendorong orang untuk ber¬koperasi karena dinilai bermanfaat.
Dalam konteks yang lebih besar koperasi dapat dilihat se¬ba¬gai wahana koreksi oleh masyarakat pelaku ekonomi, ba¬ik produsen maupun konsumen, dalam memecahkan kega¬gal¬an pasar dan mengatasi inefisiensi karena ketidaksempur¬na¬an pasar. Secara teoritis koperasi akan tetap hadir jika terjadi ke¬gagalan pasar. Jika pasar berkembang semakin kompetitif se¬cara alamiah koperasi akan menghadapi persaingan dari da¬lam. Karena segala insentif ekonomi yang selama ini didapat ti¬dak lagi bisa dimanfaatkan. Sehingga sumber kekuatan untuk tetap mempertahankan hadirnya koperasi terletak pada ke¬mam¬¬puan untuk mewujudkan keuntungan tidak langsung atau intangible benefit yang disebutkan di muka.
Dalam kerangka yang lebih makro suatu perekonomian me¬ru¬pakan suatu bangunan yang terdiri dari berbagai pelaku yang dikenal dengan kelompok produsen dan kelompok kon¬sumen. Di dalam suatu negara berkembang organisasi ekono¬mi dari masing-masing pelaku tadi menjadi semakin kompleks. Ka¬rena selain pemerintah dan swasta (perusahaan swasta) se¬be¬nar¬nya masih ada dua kelompok lain yaitu koperasi dan sek¬tor rumah tangga. Kelompok yang disebut terakhir, perlu men¬dapatkan pencermatan tersendiri, karena mungkin ia dapat bera¬da di dalam koperasi, atau menjadi suatu unit usaha sen¬diri, atau merupakan pendukung usaha swasta yang ada. Inilah yang sebenarnya perlu kita lihat dalam kerangka yang lebih luas.
Secara konseptual dan empiris, mekanisme koperasi me¬mang diperlukan dan tetap diperlukan oleh suatu perekonomi¬an yang menganut sistem pasar. Besarnya peran tersebut akan sangat tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta struktur pasar dari berbagai kegiatan ekonomi dan sumber daya alam dari sua¬tu negara. Contoh klasik dari pentingnya kondisi pasar yang kompatibel dengan kehadiran koperasi adalah pengalaman koperasi susu dimana-mana di dunia ini selalu menjadi contoh sukses (kasus bilateral monopoli). Padahal sukses ini tidak selalu dapat diikuti oleh jenis kegiatan produksi pertanian lainnya. Koperasi sebagai mekanisme kerjasama ekono¬mi juga tidak mengungkung dalam sistemnya sendiri yang ter¬ba¬tas pada sistem dan struktur koperasi, tetapi dalam inte¬rak¬si dapat meminjam mekanisme bisnis yang lazim dipakai oleh badan usaha non-koperasi. Termasuk dalam hal ini pem¬ben¬tukan usaha yang berbentuk non koperasi untuk memper¬ta¬hankan kemampuan pelayanan dan menegakkan mekanisme koperasi yang dimiliki.

IV. Posisi Koperasi dalam Perdagangan Bebas
Esensi perdagangan bebas yang sedang diciptakan oleh ba¬nyak negara yang ingin lebih maju ekonominya adalah meng¬¬hilangkan sebanyak mungkin hambatan perdagangan inter¬nasional. Melihat arah tersebut maka untuk melihat dampak¬nya terhadap perkembangan koperasi di tanah air dengan cara mengelompokkan koperasi ke dalam ketiga kelompok atas dasar jenis koperasi. Pengelompokan itu meliputi pembedaan atas dasar: (i) koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi, (ii) koperasi konsumen atau koperasi kon¬sumsi, dan (iii) koperasi kredit dan jasa keuangan. Dengan cara ini akan lebih mudah mengenali keuntungan yang bakal timbul dari adanya perdagangan bebas para anggota koperasi dan anggota koperasinya sendiri.
Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang meru¬pa¬kan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh per¬dagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini me¬mang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk sub¬sidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh ang¬gota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seper¬ti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari ne¬gara lain yang lebih efisien.
Untuk koperasi-koperasi yang menangani komoditi sebagai pengganti impor atau ditutup dari persaingan impor jelas hal ini akan merupakan pukulan be¬rat dan akan menurunkan perannya di dalam percaturan pa¬sar kecuali ada rasionalisasi produksi. Sementara untuk koperasi yang menghasilkan barang pertanian untuk ekspor seperti minyak sawit, kopi, dan rempah serta produksi pertanian dan perikanan maupun peternakan lainnya, jelas perdagangan bebas merupakan peluang emas. Karena berbagai kebebasan tersebut berarti membuka peluang pasar yang baru. Dengan demikian akan memperluas pasar yang pada gilirannya akan merupakan peluang untuk pening¬katan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan. Dalam konteks ini koperasi yang menangani produksi per¬tanian, yang selama ini mendapat kemudahan dan per-lin¬dungan pemerintah melalui proteksi harga dan pasar akan meng¬hadapi masa-masa sulit. Karena itu koperasi produksi ha¬rus merubah strategi kegiatannya. Bahkan mungkin harus me¬reorganisasi kembali supaya kompatibel dengan tantangan yang dihadapi. Untuk koperasi produksi di luar pertanian memang cukup sulit untuk dilihat arah pengaruh dari liberalisasi perdagangan terha-dapnya. Karena segala sesuatunya akan sangat tergan¬tung di posisi segmen mana kegiatan koperasi dibedakan dari para anggotanya. Industri kecil misalnya sebenarnya pada saat ini relatif berhadapan dengan pasar yang lebih terbuka. Artinya mereka terbiasa dengan persaingan dengan dunia luar untuk memenuhi pemintaan ekspor maupun berhadapan dengan ba¬rang pengganti yang diimpor. Namun cara-cara koperasi juga dapat dikerjakan oleh perusahaan bukan koperasi.
Secara umum koperasi di dunia akan menikmati manfaat be¬sar dari adanya perdagangan bebas, karena pada dasarnya per¬dagangan bebas itu akan selalu membawa pada persaingan yang lebih baik dan membawa pada tingkat keseimbangan har¬ga yang wajar serta efisien. Peniadaan hambatan per¬da¬gangan akan memperlancar arus perdagangan dan terbukanya pilih¬an barang dari seluruh pelosok penjuru dunia secara be¬bas. Dengan demikian konsumen akan menikmati kebebasan un¬tuk memenuhi hasrat konsumsinya secara optimal. Meluas¬nya konsumsi masyarakat dunia akan mendorong meluas dan mening¬katnya usaha koperasi yang bergerak di bidang konsumsi. Selain itu dengan peniadaan hambatan perdagangan oleh pe¬merintah melalui peniadaan non torif barier dan penurunan ta¬rif akan menyerahkan mekanisme seleksi sepenuhnya kepada ma¬syarakat. Koperasi sebenarnya menjadi wahana masyarakat un¬tuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul aki¬bat perdagangan bebas.
Kegiatan koperasi kredit, baik secara teoritis maupun em¬pi¬ris, terbukti mempunyai kemampuan untuk membangun seg¬men¬tasi pasar yang kuat sebagai akibat struktur pasar keuang-an yang sangat tidak sempurna, terutama jika menyangkut masa¬lah informasi. Bagi koperasi kredit keterbukaan perda¬gangan dan aliran modal yang keluar masuk akan meru¬pakan kehadiran pesaing baru terhadap pasar keuangan, na¬mun tetap tidak dapat menjangkau para anggota koperasi. Apa¬bila koperasi kredit mempunyai jaringan yang luas dan me¬nu¬tup usahanya hanya untuk pelayanan anggota saja, maka seg¬mentasi ini akan sulit untuk ditembus pesaing baru. Bagi koperasi-koperasi kredit di negara berkembang, ada¬nya globalisasi ekonomi dunia akan merupakan peluang untuk menga¬dakan kerjasama dengan koperasi kredit di negara maju dalam membangun sistem perkreditan melalui koperasi. Koperasi kredit atau simpan pinjam di masa mendatang akan menjadi pilar kekuatan sekitar koperasi yang perlu diikuti oleh dukungan lainnya seperti sistem pengawasan dan jaminan.

V. Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah
Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan mem¬berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum¬ber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun kope¬rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif de¬ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves¬tasi dan skala kegiatan koperasi. Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo¬kasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa¬da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung¬si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.
Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha¬dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre¬dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demi¬kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae¬rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi pengem¬bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me¬num-buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope¬rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem-bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat¬nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo¬rong pengem-bang¬an lembaga penjamin kredit di daerah.

VI. KESIMPULAN
Pendekatan pengembangan koperasi sebagai instrumen pembangunan terbukti menimbulkan kelemahan dalam menjadikan dirinya sebagai koperasi yang memegang prinsip-prinsip koperasi dan sebagai badan usaha yang kompetitif. Reformasi kelembagaan koperasi menuju koperasi dengan jati dirinya akan menjadi agenda panjang. Dalam kerangka otonomi daerah perlu penataan lembaga keuangan koperasi (koperasi simpan pinjam) untuk memperkokoh pembiayaan kegiatan ekonomi di lapisan terbawah dan menahan arus ke luar potensi sumberdaya lokal yang masih diperlukan. Pembenahan ini akan merupakan elemen penting dalam membangun sistem pembiayaan mikro di tanah air.

DAFTAR PUSTAKA : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_5.htm
Nama kelompok :
Garnis Suciati Sukanda 22210955
Ratna Sapitri 25210671

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS

WAJAH KOPERASI TANI DAN NELAYAN DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS

Oleh: Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

ABSTRAK
Meskipun koperasi pertanian pernah menjadi model pengembangan pada tahun 1960an hingga awal tujuh puluhan, namun pada dasarnya koperasi pertanian di Indonesia diperkenalkan sebagai bagian dari dukungan terhadap sektor pertanian. Sejak dahulu sektor pertanian di Indonesia selalu didekati dengan pembagian atas dasar sub-sektor seperti pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Cara pengenalan dan penggerakan koperasi pada saat itu mengikuti program pengembangan komoditas oleh pemerintah. Sehingga terlahir koperasi pertanian, koperasi kopra, koperasi karet, koperasi nelayan dan lain-lain. Dua jenis koperasi yang tumbuh dari bawah dan jumlahnya terbatas ketika itu adalah koperasi peternakan sapi perah dan koperasi tebu rakyat. Kedua-duanya mempunyai ciri yang sama yaitu menghadapi pembeli tunggal pabrik gula dan konsumen kota.
PENDAHULUAN
Pada sub sektor pertanian tanaman pangan yang pernah diberi nama “pertanian rakyat” praktis menjadi instrumen untuk menggerakkan pembangunan pertanian, terutama untuk mencapai swasembada beras. Hal serupa juga di ulang oleh pemerintah Orde Baru dengan mengaitkan dengan pembangunan desa dan tidak lagi terikat ketat dengan Departemen Pertanian seperti pada masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Tugas koperasi pertanian ketika itu adalah menyalurkan sarana produksi pertanian terutama pupuk, membantu pemasaran yang kesemuanya berkaitan dengan program pembangunan sektor pertanian dan “pengerakannya” kepada koperasi selalu apabila gagal dilaksanakan sendiri atau langsung oleh pemerintah, contoh padi sentra, kredit BIMAS hingga distribusi pupuk.
ISI
KUD sebagai koperasi berbasis wilayah jumlahnya hanya 8620 unit dan pendiriannya memang tidak terlalu luas. Hingga menjelang dicabutnya Inpres 4/1984 KUD hanya mewakili 25% dari jumlah koperasi yang ada ketika itu, namun dalam hal bisnis mereka mewakili sekitar 43% dari seluruh volume bisnis koperasi di Indonesia. KUD meskipun bukan koperasi pertanian namun secara keseluruhan dibandingkan koperasi lainnya tetap lebih mendekati koperasi pertanian dan karakternya sebagai koperasi berbasis pertanian juga sangat menonjol. Diantara koperasi yang ada di Indonesia yang jumlahnya pada saat ini lebih dari 103 ribu unit, KUD termasuk yang mempunyai jumlah KUD aktif tertinggi yaitu 92% atau sebanyak 7931 unit KUD pada saat ini tidak berbeda dengan koperasi lainnya dan tidak memperoleh privilege khusus, tidak terikat dengan wajib ikut program sektoral, sehingga pada dasarnya sudah menjadi koperasi otonomi yang memiliki rata-rata anggota terbesar.
Koperasi pertanian yang digerakan melalui pengembangan kelompok tani setelah keluarnya Inpres 18/1998 mempunyai jumlah yang besar, namun praktis belum memiliki basis bisnis yang kuat dan mungkin sebagian sudah mulai tidak aktif lagi. Usaha mengembangkan koperasi baru di kalangan tani dan nelayan selalu berakhir kurang menggembirakan. Mereka yang berhasil jumlah terbatas dan belum dapat dikategorikan sebagai koperasi pertanian sebagai mana lazimnya koperasi pertanian di dunia atau bahkan oleh KUD-khusus pertanian yang ada.

Posisi Pertanian : Kini dan Ke Depan
Posisi sektor pertanian sampai saat ini tetap merupakan penyedia lapangan kerja terbesar dengan sumbangan terhadap pembentukan produksi nasional yang kurang dari 19%. Jika dimasukkan keseluruhan kegiatan off form yang terkait dan sering dinyatakan sebagai sektor agribisnis juga hanya mencakup 47%, sehingga dominasi pembentukan nilai tambah juga sudah berkurang dibandingkan dengan sektor-sektor di luar pertanian. Isue peran pertanian sebagai penyedia pangan, bentuk ketahanan pangan juga menurun derajat kepentingan nya.
Ditinjau dari unit usaha pertanian terdapat 23,76 juta unit atau 59% dari keseluruhan unit usaha yang ada. Disektor pertanian hanya terdapat 23,76 juta usaha kecil dengan omset dibawah 1 miliar/tahun dimana sebagian terbesar dari usaha tersebut adalah usaha mikro dengan omset dibawah Rp. 50 juta/thn. Secara kasar dapat diperhitungkan bahwa hanya sekitar 670 ribu unit usaha kecil di sektor pertanian yang bukan usaha mikro, oleh karena itu daya dukungnya sangat lemah dalam memberikan kesejahteraan bagi para pekerja. Sementara itu penguasaan tanah berdasarkan sensus pertanian 1993 sekitar 43% tanah pertanian berada di tangan 13% rumah tangga dengan pemilikan diatas 1 hektar saja. Sehingga petani besar sebenarnya potensial dilihat sebagai modal untuk menjadi lokomotif pembangunan pertanian.
Problematika sektor pertanian di Indonesia yang akan mempengaruhi corak pengembangan koperasi pertanian dimasa depan adalah issue kesejahteraan petani, peningkatan produksi dalam suasana desentralisasi dan perdagangan bebas. Bukti empiris di dunia Mengungkapkan bahwa pertanian keluarga tidak mampu menopang kesejahteraan yang layak setara dengan sektor lainnya dalam suasana perdagangan bebas. Thema ini menjadi penting untuk melihat arah kebijakan pertanian dalam jangka menengah dan panjang, terutama penetapan pilihan sulit yang melilit sektor pertanian akibat berbagai Rasionalisasi. Kelangsungan hidup koperasi pertanian dimasa lalu sangat terkait politik reservasi tersebut, dan ke depan hal ini juga akan sangat menentukan.
Untuk melihat posisi koperasi secara kritis perlu didasarkan pada posisi sektor pertanian yang semakin terbuka dan bebas. Dengan dasar bahwa proses liberalisasi perdagangan yang berdampak pada sektor pertanian dalam bentuk dihapuskan kebijakan perencanaan pertanian yang kaku dan terpokus. Sehingga pengekangan program pembangunan pertanian tidak mungkin lagi dijalankan secara bebas, tetapi hanya dapat dilakukan secara lokal dan harus sesuai dengan potensi lokal. Olah karena itu prinsip pengembangan pertanian akan lebih bersifat insentif driven ketimbang program driven seperti dimasa lalu. Dengan demikian corak koperasi pertanian akan terbuka tetapi untuk menjamin kelangsungan hidupnya akan terbatas pada sektor selektif yang memenuhi persyaratan tumbuhnya koperasi.

Sketsa Koperasi Pertanian di Masa Depan
Perkembangan koperasi pertanian ke depan digambarkan sebagai “restrukturisasi” koperasi yang ada dengan fokus pada basis penguatan ekonomi untuk mendukung pelayanan pertanian skala kecil. Oleh karena itu konsentrasi ciri umum koperasi pertanian di masa depan adalah koperasi kredit pedesaan, yang menekankan pada kegiatan jasa keuangan dan simpan pinjam sebagai ciri umum. Pada saat ini saja hampir di semua KUD, unit simpan pinjam telah menjadi motor untuk menjaga kelangsungan hidup Koperasi. Sementara kegiatan pengadaan sarana produksi dan pemasaran hasil menjadi sangat selektif. Hal ini terkait dengan struktur pertanian dan pasar produk pertanian yang semakin kompetitif, termasuk jasa pendukung pertanian (jasa penggilingan dan pelayanan lainnya) yang membatasi insentif berkoperasi.
Koperasi Nelayan karena kekuatan utamanya terletak pada kekuatan monopoli penguasaan pendaratan dan lelang oleh pemerintah, akan sangat di tentukan oleh policy daerah hak itu akan diberikan kepada siapa ? Pemerintah daerah juga potensial untuk melahirkan pesaing baru dengan membangun pendaratan baru. Dengan pengorganisasian atas dasar kesamaan tempat pendaratan pada dasarnya kekuatannya terletak pada daya tarik tempat pendaratan. Persoalan yang dihadapi koperasi nelayan ke depan adalah alih fungsi dari "nelayan tangkap" menjadi “nelayan budidaya”, karena hampir sebagian terbesar perairan perikanan pantai sudah di kategorikan overfishing. Fenomena ini juga terjadi di negara seperti Canada, Korea Selatan dan Eropa dimana koperasi nelayan sedang menghadapi situasi surut.
Koperasi perkebunan tetap mempunyai prospek yang bagus terutama yang terkait dengan industri pengolahan. Namun dalam situasi kesulitan menarik investasi karena kurangnya insentif, kebangkitan ini akan tertunda. Potensi besar sektor perkebunan untuk memanfaatkan kelembagaan koperasi dapat direalisasi dengan dukungan restrukturisasi status aset anggota dalam koperasi atau pengenalan konsep "saham" sebagai equity dibanding "simpanan" yang tidak transferable.
Koperasi di sub sektor peternakan terutama peternakan sapi perah apapun kebijakan yang ditempuh akan mampu berkembang dengan karakter koperasi yang kental. Prasyarat untuk memajukan koperasi di bidang persusuan ini dalam menghadapi persaingan global antara lain:
a. Bebaskan anggota yang ada hingga usahanya minimal skala mikro atau minimal 10 ekor/anggota.
b. Bebaskan setiap koperasi hingga mencapai satuan yang layak sebagai kluster peternakan minimal 15.000liter/hari dan idealnya menuju pada 100.000 liter/hari.
c. Integrasi untuk konsep pertanian dan peternakan agar menjamin kesatuan unit untuk meningkatkan kepadatan investasi pertanian.
KESIMPULAN
Untuk kegiatan pertanian lainnya agar lebih berhati-hati untuk mengenalkan konsep koperasi ke dalam kegiatan pertanian. Persyaratan usaha masing-masing anggota, kesesuaian struktur pasar dan keterkaitan jangka panjang antara bisnis anggota dan kegiatan koperasi akan tetap menjadi pertimbangan kepentingan untuk menumbuhkan koperasi pertanian. Pada akhirnya daerah otonom sebagai suatu kesatuan administrasi harus dilihat sebagai basis pemusatan koperasi.
Daftar pustaka : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_4.htm

Nama kelompokGarnis Suciati Sukanda 22210955
Ratna Sapitri 25210671

KOPERASI MEWUJUDKAN KEBERSAMAAN DAN KESEJAHTERAAN: MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL DAN REGIONALISME BARU


KOPERASI MEWUJUDKAN KEBERSAMAAN DAN KESEJAHTERAAN: MENJAWAB TANTANGAN GLOBAL DAN REGIONALISME BARU


abstrak
Membangun sistem Perekonomian Pasar yang berkeadilan sosial tidaklah cukup dengan sepenuhnya menyerahkan kepada pasar. Namun juga sangatlah tidak bijak apabila menggantungkan upaya korektif terhadap ketidakberdayaan pasar menjawab masalah ketidakadilan pasar sepenuhnya kepada Pemerintah. Koperasi sebagai suatu gerakan dunia telah membuktikan diri dalam melawan ketidakadilan pasar karena hadirnya ketidaksempurnaan pasar. Bahkan cukup banyak contoh bukti keberhasilan koperasi dalam membangun posisi tawar bersama dalam berbagai konstelasi perundingan, baik dalam tingkatan bisnis mikro hingga tingkatan kesepakatan internasional. Oleh karena itu banyak Pemerintah di dunia yang menganggap adanya persamaan tujuan negara dan tujuan koperasi sehingga dapat bekerjasama.
pendahuluan
Meskipun demikian di negeri kita sejarah pengenalan koperasi didorong oleh keyakinan para Bapak Bangsa untuk mengantar perekonomian Bangsa Indonesia menuju pada suatu kemakmuran dalam kebersamaan dengan semboyan "makmur dalam kebersamaan dan bersama dalam kemakmuran". Kondisi obyektif yang hidup dan pengetahuan masyarakat kita hingga tiga dasawarsa setelah kemerdekaan memang memaksa kita untuk memilih menggunakan cara itu. Persoalan pengembangan koperasi di Indonesia sering dicemooh seolah sedang menegakan benang basah. Pemerintah di negara-negara berkembang memainkan peran ganda dalam pengembangan koperasi dalam fungsi "regulatory" dan "development". Tidak jarang peran ‘”development” justru tidak mendewasakan koperasi.
Isi
Koperasi sejak kelahiranya disadari sebagai suatu upaya untuk menolong diri sendiri secara bersama-sama. Oleh karena itu dasar "self help and cooperation" atau "individualitet dan solidaritet" selalu disebut bersamaan sebagai dasar pendirian koperasi. Sejak akhir abad yang lalu gerakan koperasi dunia kembali memperbaharui tekadnya dengan menyatakan keharusan untuk kembali pada jati diri yang berupa nilai-nilai dan nilai etik serta prinsip-prinsip koperasi, sembari menyatakan diri sebagai badan usaha dengan pengelolaan demoktratis dan pengawasan bersama atas keanggotaan yang terbuka dan sukarela. Menghadapi milenium baru dan globalisasi kembali menegaskan pentingnya nilai etik yang harus dijunjung tinggi berupa: kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab sosial dan kepedulian kepada pihak lain (honesty, openness, social responsibility and caring for others) (ICA,1995). Runtuhnya rejim sosialis Blok-Timur dan kemajuan di bagian dunia lainnya seperti Afrika telah menjadikan gerakan koperasi dunia kini praktis sudah menjangkau semua negara di dunia, sehingga telah menyatu secara utuh. Dan kini keyakinan tentang jalan koperasi itu telah menemukan bentuk gerakan global.
Koperasi Indonesia memang tidak tumbuh secemerlang sejarah koperasi di Barat dan sebagian lain tidak berhasil ditumbuhkan dengan percepatan yang beriringan dengan kepentingan program pembangunan lainnya oleh Pemerintah. Krisis ekonomi telah meninggalkan pelajaran baru, bahwa ketika Pemerintah tidak berdaya lagi dan tidak memungkinkan untuk mengembangkan intervensi melalui program yang dilewatkan koperasi justru terkuak kekuatan swadaya koperasi.
Di bawah arus rasionalisasi subsidi dan independensi perbankan ternyata koperasi mampu menyumbang sepertiga pasar kredit mikro di tanah air yang sangat dibutuhkan masyarakat luas secara produktif dan kompetitif. Bahkan koperasi masih mampu menjangkau pelayanan kepada lebih dari 11 juta nasabah, jauh diatas kemampuan kepiawaian perbankan yang megah sekalipun. Namun demikian karakter koperasi Indonesia yang kecil-kecil dan tidak bersatu dalam suatu sistem koperasi menjadikannya tidak terlihat perannya yang begitu nyata.
Lingkungan keterbukaan dan desentralisasi memberi tantangan dan kesempatan baru membangun kekuatan swadaya koperasi yang ada menuju koperasi yang sehat dan kokoh bersatu.
Menyambut pengeseran tatanan ekonomi dunia yang terbuka dan bersaing secara ketat, gerakan koperasi dunia telah menetapkan prinsip dasar untuk membangun tindakan bersama. Tindakan bersama tersebut terdiri dari tujuh garis perjuangan sebagai berikut :
¬Pertama, koperasi akan mampu berperan secara baik kepada masyarakat ketika koperasi secara benar berjalan sesuai jati dirinya sebagai suatu organisasi otonom, lembaga yang diawasi anggotanya dan bila mereka tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi;
Kedua, potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koperasi dihormati dalam peraturan perundangan;
Ketiga, koperasi dapat mencapai tujuannya bila mereka diakui keberadaannya dan aktifitasnya;
Keempat, koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lainnya bila terjadi "fair playing field";
Kelima, pemerintah harus memberikan aturan main yang jelas, tetapi koperasi dapat dan harus mengatur dirinya sendiri di dalam lingkungan mereka (self-regulation);
Keenam, koperasi adalah milik anggota dimana saham adalah modal dasar, sehingga mereka harus mengembangkan sumberdayanya dengan tidak mengancam identitas dan jatidirinya, dan;
Ketujuh, bantuan pengembangan dapat berarti penting bagi pertumbuhan koperasi, namun akan lebih efektif bila dipandang sebagai kemitraan dengan menjunjung tinggi hakekat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan.
Kesimpulan
Bagi koperasi Indonesia membangun kesejahteraan dalam kebersamaan telah cukup memiliki kekuatan dasar kekuatan gerakan. Daerah otonom harus menjadi basis penyatuan kekuatan koperasi untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan lokal dan arus pengaliran surplus dari bawah. Ada baiknya koperasi Indoensia melihat kembali hasil kongres 1947 untuk melihat basis penguatan koperasi pada tiga pilar kredit, produksi dan konsumsi. Dengan mengembalikan koperasi pada fungsinya (sebagai gerakan ekonomi) atas prinsip dan nilai dasarnya, koperasi akan semakin mampu menampilkan wajah yang sesungguhnya menuju keadaan "bersama dalam kesejahteraan" dan "sejahtera dalam kebersamaan”.
Daftar pustaka : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_17/artikel_1.htm
nama kelompok :
Garnis Suciati Sukanda 22210955
Ratna Sapitri 25210671

Rabu, 14 Desember 2011

KAJIAN DAMPAK PROGRAM PERKREDITAN DAN PERKUATAN PERMODALAN USAHA KECIL MENENGAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH


KAJIAN DAMPAK PROGRAM PERKREDITAN DAN PERKUATAN PERMODALAN USAHA KECIL MENENGAH TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH


ABSTRACT
Modal UKM & Koperasi paling masih terbatas, modal eksternal diperlukan untuk mengembangkan bisnis. Modal eksternal dapat diperoleh dari perbankan lembaga kredit dan non-bank. Untuk memperoleh kredit, UKM memiliki beberapa kendala, khususnya dalam memenuhi klausul banking.such sebagai modal yang berhubungan dengan Rasio Modal memadai (CAR) dan jaminan, yang berkaitan dengan siap [Dari] jaminan / kepastian. Untuk itu, pemerintah [rilis] dengan kebijakan yang lemah klausul yang ditanamkan [oleh] 17 skema kredit dan kekuatan modal melalui program MAP, subsidi BBM, dana keuntungan BUMN / BUMD Tujuan. Menganalisis macam program kredit dan kekuatan modal Usaha Kecil & Menengah (UKM), Menganalisa dampak program kredit dan kekuatan modal Usaha Kecil & Menengah (UKM), Menganalisis profil dari Usaha Kecil & Menengah (UKM setelah mereka memiliki program kredit dan modal kekuatan. Studi ini diadakan di 10 (sepuluh) provinsi, mereka berada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur, menggunakan metode survei, penentuan sampel dengan proposive sampling, analisis data telah Dan dilakukan dengan analisis deskriptif dan regresion linier sederhana. Menurut hasil penelitian, modal kekuatan dan kredit diterima [oleh] UKM. Mereka ditakdirkan untuk membeli bahan baku, membeli peralatan, dan beberapa untuk membayar gaji karyawan. Pada ketinggian pembelian bahan baku dan peralatan, terjadi make-up produksi volume. berpengaruh terhadap peningkatan juga untuk volume usaha. Menganalisis hasil dengan regresi linier dalam realitas kekuatan modal dan kredit [yang] diterima [oleh] UKM yang alokasi untuk pembelian bahan baku dan peralatan memiliki efek pada positif untuk volume usaha, meskipun mempengaruhi tidak significan. Pada puncak volume bisnis akan memiliki pengaruh di peningkatan produksi barang dan layanan juga berarti meningkatkan ekonomi daerah.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
UKM memiliki potensi besar, ditunjukkan dengan kemampuannya bertahan dalam menghadapi badai krisis keuangan dan ekonomi yang menimpa Indonesia sejak medio tahun 1997. Hal ini juga membuktikan bahwa UKM merupakan salah satu pelaku ekonomi yang kuat dan ulet. Meskipun demikian UKM tidak terlepas dari dampak gejolak pasar dan keambrukan sistem perbankan nasional. Diperkirakan di masa depan UKM akan cukup berhasil menyesuaikan diri dengan lingkungan ekonomi yang cepat berubah dan dapat meningkatkan posisi daya saing bukan hanya dalam pasar lokal tetapi juga dalam mendorong aktivitas ekspor yang pada akhirnya akan lebih mendorong
pengembangan perekonomian daerah. Pemulihan ekonomi dalam perekonomian
daerah akan lebih cepat tercapai apabila peran UKM dapat lebih ditingkatkan
dan berbagai kendala internal yang melilit UKM seperti perkreditan dan
permodalan dapat dicarikan solusi yang pas dan akurat. Perkreditan dan permodalan bagi pengembangan UKM sering menjadi kendala, karena UKM sangat terbatas kemampuannya untuk mengakseskan terhadap lembaga perkreditan atau perbankan. Realitas menunjukkan bahwa UKM pada umumnya mengalami masalah dalam memenuhi berbagai persyaratan untuk mendapatkan kredit yang biasanya diukur dengan 5C, yaitu : character, capacity, capital, collateral, dan condition. Dari persyaratan 5C tersebut ada 2C yang sulit dipenuhi yaitu capital dan collaterall. Capital berkaitan dengan persyaratan untuk memenuhi capital adequacy ratio (CAR) bagi para peminjam. Kesulitan ini terutama sering dihadapi oleh para pemodal kecil. Sedangkan collateral berkaitan dengan penyediaan jaminan atau agunan tambahan bagi peminjam. Dalam rangka pemberdayaan koperasi dan UKM, pemerintah telah mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan ke dalam 17 skim kredit dengan persyaratan lunak. Dengan skim tersebut, maka tahun 1997/1998, telah dialokasikan dana sebesar Rp. 1,0 trilyun. Kemudian pada tahun 1998/1999 alokasi dana untuk koperasi dan UKM meningkat empat belas kali dari tahun sebelumnya dengan nilai Rp. 14,4 trilyun. Dalam pelaksanaannya, ternyata belum dapat berjalan secara optimal. Fenomena ini diduga terjadi karena penyelenggaraan kredit menghadapi banyak kesulitan, baik dalam penyaluran maupun dalam pengembalian pinjamannya. Selanjutnya data dari Asian Development Bank tahun 2001 menunjukkan bahwa perolehan kredit bagi UKM dari lembaga perkreditan seperti perbankan adalah sebagai berikut : UKM yang pernah memperoleh kredit dari bank hanya sebesar 21%,UKM yang telah mengajukan kredit tetapi belum memperoleh kredit sebesar 14%,UKM yang sangat membutuhkan kredit tetapi belum mengajukan kredit sebesar 33% dan d). sisanya sebesar 32% belum memerlukan kredit.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang kajian ini, maka masalah kajian dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a. Program perkreditan dan perkuatan permodalan apa sajakah yang sudah diterima UKM?
b. Sampai seberapa jauh dampak program perkreditan dan perkuatan permodalan terhadap kinerja UKM?
c. Sampai seberapa jauh dampak program perkreditan dan perkuatan permodalan terhadap perekonomian daerah.
Tujuan dan Manfaat
a. Menganalisis jenis program perkreditan dan perkuatan permodalan usaha kecil dan menengah
b. Menganalisis dampak program perkreditan dan perkuatan permodalan UKM terhadap perekonomian daerah.
c. Menganalisis kinerja usaha kecil dan menengah yang sudah memperoleh program perkreditan dan perkuatan permodalan.
Kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa masukan terhadap perumusan kebijakan pemerintah mengenai program perkreditan dan perkuatan permodalan yang tepat bagi UKM yang bisa berdampak terhadap kinerja UKM dan peningkatan perekonomian daerah.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kredit dan perkuatan permodalan dapat diperoleh debitur seperti lembaga keuangan. Lembaga keuangan dapat didefinisikan sebagai perusahaan yang aktivitasnya bergerak dibidang keuangan. Jadi kegiatannya selalu berkaitan dengan bidang keuangan yang meliputi penghimpunan dana, penyaluran dana atau jasa-jasa keuangan lainnya. Lembaga keuangan dapat dibedakan atas dua golongan besar, yaitu : pertama, lembaga keuangan bank dan kedua, lembaga keuangan lainnya. Perkreditan umumnya dapat diperoleh dari lembaga keuangan bank yang memerlukan persyaratan ketat yaitu 5C. Persyaratan ini selalu merupakan kendala besar bagi UKM dalam memperoleh kredit dari bank. Sedangkan perkuatan permodalan bisa diperoleh UKM dari lembaga keuangan lainnya (non-bank) seperti pasar uang, pasar modal, dan lain-lain yang persyaratannya agak lebih lunak jika dibandingkan dengan bank. Perkuatan permodalan ini dimaksudkan untuk memperkuat modal kerja UKM dalam menjalankan roda usahanya. Dengan adanya perkuatan permodalan maka UKM diharapkan akan dapat memperoleh profit dan meningkatkan skala usahanya.
Ruang Lingkup
Aspek-aspek yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini antara lain:
1. Profil pengelola UKM, yang meliputi antara lain : jumlah pengelola atau tenaga kerjanya, pendidikan pengelola , dan usia pengelola
2. Profil UKM , seperti usia atau lama berdirinya, pemilikan badan hukum dan perijinannya
3. Kinerja UKM, yang meliputi permodalan, bahan baku, produksi, dan volume usaha
4. Profil perkreditan dan perkuatan permodalan yang meliputi jumlah dan peruntukannya
5. Kewajiban UKM seperti pajak dan restribusi
6. Persepsi UKM dalam hal perkreditan dan perkuatan permodalan
7. Pemanfaatan perkreditan dan perkuatan permodalan
Metode Penelitian dan analisa data
Penelitian ini dilaksanakan dengan methode survey, penentuan sampel dengan porposive sampling. UKM yang dijadikan sampel adalah UKM yang bergerak di bidang industri keci dan kerajinan, jumlah sampel ditetapkan 30 UKM per propinsi pada satu Kabupaten/Kota yang memperoleh kredit dan perkuatan permodalan paling banyak dalam jumlah dan nilainya. Pengumpulan data primer diperoleh dari UKM dengan menggunakan kuestioner, sedang data sekunder diperoleh dari publikasi, laporan, serta dokumen dari instansi terkait Analisa data dengan menggunakan analisa regresi linier dan analisa diskriftif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Permodalan Usaha Kecil dan Menengah
Permodalan UKM contoh di sepuluh propinsi rata-rata jumlah modalnya sebesar Rp 309 juta lebih, dengan perkembangannya sebesar 51,40% per tahun . Permodalan UKM contoh paling tinggi adalah UKM Lampung yaitu rata-rata Rp 762,02 juta dengan perkembangan rata-rata 45,47%., kemudian UKM di Nusa Tenggara Timur yaitu ratarata Rp 604,67 dengan perkembangan rata-rata 45,47 %. Sedang pemilikan modal UKM contoh rendah adalah UKM di propinsi Sulawesi Selatan dan Bali, yang mana UKM Sulsel memiliki modal rata-rata Rp. 3,9 juta lebih dengan perkembangan 39,31 % dan pemilikan modal rata-rata UKM di Bali hanya Rp.2,89 juta lebih, dengan perkembanga 38,73 %. Adapun data modal UKM propinsi lainnya yaitu: di propinsi Sumatera Utara UKM memiliki modal rata rata Rp. 556,8 juta, dengan perkembangan 15,20%. Di propinsi Sumatera Barat, pemilikan modal UKM rata-rata Rp. 458,9 juta, dengan perkembangan rata-rata 28,57%. Di propinsi Sumatera Selatan, UKM memiliki permodalan rata-rata Rp. 762,02 juta, dengan perkembangan rata-rata 121,00%. Di propinsi Jawa Barat yang memiliki UKM yang cukup banyak dan potensial memiliki modal rata-rata Rp. 308,00 juta lebih dengan perkembangan modal rata-rata minus 1,42% yang berarti bahwa permodalan UKM mengalami penurunan. Di propinsi Kalimantan Selatan, UKM memiliki modal rata-rata Rp. 8,4 juta lebih dengan perkembangan sebesar 83,27%. Selanjutnya UKM yang ada di propinsi Sulawesi Utara UKM memiliki modal rata-rata Rp. 50,4 juta lebih,
mengalami perkembangan rata-rata 51,08%.
Produksi Usaha Kecil dan Menengah
UKM sebagai produsen telah menghasilkan berbagai macam produk. Ratarata produksi UKM di sepuluh propinsi sebanyak 337.050 unit lebih per tahun dengan perkembangan rata-rata 23,20%. Produksi UKM contoh paling tinggi adalah UKM di propinsi Sumatera Utara yang mana telah menghasilkan produk sebesar 825.300 unit dengan perkembangan rata-rata 29,49%, kemudian diikuti UKM di Jawa Barat yakni menghasilkan 823.896 unit, meskipun perkembangan produksinya negatif yakni sebesar (14,24%). Produksi UKM contoh paling rendah adalah UKM di Sulawesi Utara hanya bisa menghasilkan produk ratarata sebanyak 713 unit setahun, dengan perkembangan produksi rata-rata 16,60%. Adapun rata-rata produksi UKM contoh dan perkembangannya di propinsi lainnya adalah sebagai berikut : UKM di Sumatera Barat hanya mampu berproduksi sebanyak 612.000 unit dengan rata-rata perkembangan 14,80%. Di Sumatera Selatan, produksi UKM contoh hanya sebesar 235.450 unit namun mengalami perkembangan sebesar 35,50%. Produksi UKM di propinsi Lampung hanya sebesar 316.860 unit dan perkembangannya rata-rata 73,71%. Di propinsi Kalimantan Selatan, UKM-nya hanya mampu menghasilkan produk sebanyak 24.509 unit, dengan perkembangan produksi rata-rata 8,86%. Produksi UKM di Sulawesi Selatan sebanyak 35.580 unit dengan perkembangan 28,90%. Di propinsi Bali, produksi UKM sebanyak 276.383 unit dengan
perkembangan rata-rata 14,00%. Sedangkan produksi UKM di propinsi Nusa Tenggara Timur sebanyak 219.84 unit dengan perkembangan rata-rata 24,00%.
Volume Usaha dari Usaha Kecil dan Menengah
Volume usaha merupakan sejumlah nilai produk yang dihasilkan oleh suatu badan usaha dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal volume usaha, ternyata UKM di sepuluh propinsi rata-rata menghasilkan sebesar Rp. 254,505 juta lebih per tahun dengan rata-rata perkembangan sebesar 46,13%. Jika ditinjau menurut propinsi, maka volume usaha UKM contoh paling tinggi adalah UKM di propinsi Bali bisa mencapai volume usaha sebesar Rp.952,3 juta lebih dengan perkembangan rata-rata 13,23%, kemudian diikuti UKM di propinsi Kalimantan Selatan dengan pencapaian volume usaha sebesar Rp. 536,59 juta lebih serta perkembangan mencapai rata-rata 34,49%. Volume usaha UKM contoh paling rendah adalah UKM UKM di propinsi Jawa Barat, hanya mampu menghasilkan volume usaha sebanyak Rp. 23,2 juta lebih dengan perkembangan sebesar 9,79%. Adapun rata-rata produksi UKM contoh dan perkembangannya di propinsi lainnya adalah sebagai berikut : di propinsi Sumatera Utara volume usaha UKM contoh hanya mencapai Rp. 42,4 juta per tahun dengan perkembangan sebesar 19,78%. Di propinsi Sumatera Barat volume usaha UKM contoh rata-rata
mencapai Rp. 458,96 juta lebih dengan perkembangan rata-rata 28,57%. Di propinsi Sumatera Selatan, volume usaha UKM contoh hanya mencapai Rp. 147,9 juta lebih, dengan perkembangan relatif besar yakni rata-rata 148,73%. UKM contoh di propinsi Lampung memperoleh volume usaha sebanyak Rp. 130,96 juta lebih dengan perkembangan yang cukup besar yakni 114,56%. Di propinsi Sulawesi Utara, volume usaha UKM contoh mencapai jumlah Rp.167,4 juta lebih dengan perkembangan rata-rata 19,90%. Akan tetapi di propinsi Sulawesi Selatan, volume usaha UKM contoh hanya bisa mencapai Rp. 46,1 juta lebih dengan perkembangan rata-rata 38,60%. Pencapaian volume usaha UKM contoh di propinsi Nusa Tenggara Timur hanya sebesar Rp. 39,04 juta lebih dengan perkembangan ratarata 33,65%.
Profil Perkreditan dan Perkuatan Permodalan Untuk menjalankan usahanya UKM membutuhkan modal, baik modal investasi maupun modal kerja. Permodalan UKM dapat berasal dari modal sendiri maupun kredit. Kredit dapat diperoleh dari lembaga keuangan bank ataupun lembaga keuangan non bank seperti BUMN, modal ventura, MAP dan lain-lain.
Perkreditan
Kredit yang diperoleh UKM contoh dari perbankan berkisar antara Rp 2 juta hingga Rp 75 juta. Kredit paling tinggi diperoleh UKM contoh di propinsi Jawa Barat yaitu Rp 5 juta sampai Rp 75 juta, sedang kredit paling rendah diperoleh UKM contoh di di Propinsi Lampung yaitu hanya Rp 3 juta sampai Rp 15 juta. Adapun perolehan kredit UKM contoh di Propinsi lain adalah sebagai berikut: di Propinsi Sumatera Utara Rp 5 juta sampai Rp 20 juta, di Propinsi Sumatera Barat Rp 5 juta sampai Rp 50 juta, di Propinsi Sumatera Selatan Rp 9 juta sampai Rp 24 juta, di Propinsi Kalimantan Selatan Rp 2 juta sampai Rp 30 juta, di Propinsi Sulawesi Utara Rp 10 juta sampai Rp 50 juta, di Propinsi Sulawesi Selatan Rp 2 juta sampai Rp 20 juta, di Propinsi bali Rp 3 juta sampai Rp 58 juta, dan di Propinsi Nusa Tenggara Timur Rp 3 juta sampai Rp 25 juta 4.4.2. Perkuatan Permodalan Perkuatan permodalan yang diterima UKM contoh berkisar antara Rp 750 ribu sampai Rp 40 juta. UKM contoh yang memperoleh Perkuatan permodalan paling tinggi adalah UKM Propinsi Sulawesi Utara yaitu antara Rp 4 juta sampai Rp 40 juta, sedang yang paling rendah UKM contoh Propinsi Sulawesi Selatan yaitu antara Rp 1 juta sampai Rp 10 juta. Sedangkan perolehan Perkuatan permodalan UKM contoh di Propinsi lain adalah sebagai berikut: di Sumatera Utara UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 2,5 juta sampai Rp10 juta, di Sumatera Barat UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 1 juta sampai Rp15 juta, di Sumatera Selatan
UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 9 juta sampai Rp 24 juta, di lampung UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 2,5 juta sampai Rp10 juta, di Jawa Barat UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 2 juta sampai Rp15 juta, di Kalimantan Selatan UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 3 juta sampai Rp12 juta, di Bali UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 9,75 juta sampai Rp26 juta, dan di Nusa Tenggara Timur UKM contoh memperoleh Perkuatan permodalan antara Rp 750 ribu sampai Rp15 juta.
Peruntukan Kredit
Secara umum, kredit yang diterima UKM contoh di 10 propinsi Lokasi Penelitian digunakan untuk pembelian bahan baku, pembelian Peralatan, dan pembayaran gaji karyawan. Seluruh UKM contoh di 10 propinsi ( 100 %) menggunakan perolehan kreditnya untuk pembeliaan bahan baku, yang menggunakan untuk pembelian Peralatan UKM contoh di 9 propinsi (90%) selain Kalimantan Selatan, dan yang menggunakan untuk pembayaran gaji karyawannya UKM contoh di 6 Propnsi yaitu : Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Bali. Peruntukan Perkuatan Permodalan
Sebagaimana peruntukan kredit, perkuatan permodalan yang diperoleh UKM contoh juga hampir seluruhnya digunakan untuk pembelian bahan baku, peralatan, dan pembayaran gaji karyawan. Seluruh UKM contoh di 10 propinsi ( 100 %) menggunakan perolehan perkuatan permodalannya untuk pembeliaan bahan baku dan pembelian peralatan. Yang menggunakan perolehan perkuatan permodalannya untuk pembayaran gaji karyawannya UKM contoh di 8 Propinsi yaitu : Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali, dan Nusa Tenggara Timur.
Pajak, Retribusi, dan lain-lain
Pajak, restribusi dan pungutan-pungutan lainnya adalah merupakan kewajiban yang harus dibayar Koperasi, UKM dan pelaku usaha lainnya sesuai peraturan yang ditetapkan pemerintah baik pusat , sebagai peran sertanya Kepada Pemerintah dalam pembiayaan pembangunan nasional maupun daerah yang bersangkutan. UKM contoh yang telah membayar pajak, restribusi dan pungutan-pungutan lainnya baru di Propinsi Sulawesi Utara, mungkin karena UKM belum mengerti prosedurnya dan aparat sendiri belum melakukan sosialisasi dan belum siap melakukan tugasnya, yang seharusnya jemput bola bila wajip pajak belum tahu kewajibannya.
Kesimpulan
1. UKM contoh termasuk usaha yang masih relatif kecil dengan tenaga kerja 1 sampai 49 orang atau rata-rata 5 orang. Usia atau lama berdirinya UKM contoh cukup bervariasi yaitu 1 sampai 49 tahun dengan rata-rata 11,05 tahun. Dari segi legalitas, baru 16,4 % yang telah mempunyai badan hukum seperti PT, CV, NV, Firma dan sebagainya selebihnya masih merupakan usaha perorangan, yang mana sebanyak 68,2 % telah memiliki perijinan seperti SIUP, TDI, TDP, dan sebanyak 21,5 % belum memiliki perijinan. Usia pengelola UKM contoh cukup bervariasi pula yaitu dari umur 21 tahun sampai 70 tahun dengan rata-rata 40,05 tahun
2. UKM contoh memiliki modal usaha cukup bervariasi yaitu dari 3 juta sampai Rp 3 juta sampai Rp 762 juta dengan rata-rata sekitar Rp 300 juta, dengan perkembangan rata-rata 51,40 % per tahun. Adapun jumlah produksinya cukup beragam mulai 713 unit sampai 825.000 unit, dengan rata-rata 337.000 unit, dengan perkembangan rata-rata 35,5 % per tahun.Volume usaha atau omset yang dicapai UKM contoh cukup beragam pula, dari Rp 23 juta sampai hampir Rp 1 milyar, dengan rata-rata Rp254 juta setahun, dengan perkembangan 16,13 % per tahun. Dengan demikian kinerja UKM contoh dapat dikatakan cukup prospektif, ditunjukkan dari adanya perkembangan positif dari modal usaha, produksi dan omset nya.
3. Kredit yang diterima UKM contoh masih relatif kecil yaitu berkisar Rp 2 juta sampai 75 juta dan perkuatan permodalan yang diperolehpun relatif kecil pula yaitu Rp 750.000,- sampai 26 juta, itupun kebanyakan baru memperoleh satu kali. Kredit dan perkuatan permodalan yang diterima UKM contoh diperuntukkan untuk membeli bahan baku, membeli peralatan, dan sebagian kecil untuk membayar gaji karyawan. Dengan meningkatnya pembelian bahan baku dan peralatan, terjadi peningkatan volume produksi. Yang berpengaruh pula terhadap peningkatan volume usahanya.
4. Dari hasil analisa dengan regresi linier ternyata kredit dan perkuatan permodalan yang diterima UKM yang diperuntukan untuk pembelian bahan baku dan peralatan berpengaruh positif terhadap volume usaha, meskipun pengaruh tersebut tidak signifikan. Dengan meningkatnya volume usaha akan berpengaruh pada meningkatnya produksi barang dan jasa yang berarti pula meningkatkan perekonomian daerah Sebagian besar UKM contoh belum melakukan kewajibannya membayar pajak, restribusi dan pungutan-pungutan lainnya, kecuali UKM di Propinsi Sulawesi Utara, mungkin karena UKM belum mengerti prosedurnya dan aparat sendiri belum melakukan sosialisasi, serta belum siap melakukan tugasnya sampai ke daerah-daerah untuk jemput bola bila wajib pajak belum masih kesulitan melakukan kewajibannya.
Saran-saran
1. Permodalan UKM masih perlu ditingkatkan, baik melalui perkreditan maupun perkuatan permodalan dengan jumlah yang lebih besar, persyaratan lebih lunak , dan prosedur yang lebih mudah, serta pencairan yang lebih cepat.
2. Dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah, maka pemerintah perlu menggalakkan penyuluhan atau sosialisasi tentang perpajakan, restribusi dan lainlain sehingga wajib pajak mengerti akan kewajibannya, tata cara pembayarannya, serta melakukan jemput bola bila memang wajip pajak belum mengerti atau melaksanakan kewajibannya
3. Pemerintah daerah sebaiknya mempermudah prosedur pemberian legalitas usaha diwilayahnya, untuk memudahkan Pemda dalam melakukan pembinaan, pengawasan, memungut haknya, serta memudahkan pelaku usaha dalam memenuhi persyratan-persyaratan untuk memperoleh perkreditan, perkuatan permodalan, maupun fasititas-fasilirtas lainnya

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001. Petunjuk Teknis Modal Ventura. Deputi Bidang Pengembangan Permodalan
dan Investasi, Badan Pengembangan Sumberdaya Koperasi Pengusaha Kecil dan
Menengah.
Hadi S. Prof. Drs. MA, 1983, Metodologi Research . Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Kasmir, SE, MM 1998. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya. PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta
Mubyarto,Prof.Dr. Suratno,M.Ec,1981. MetodologiPenelitian Ekonomi. Yayasan Agro
Ekonomika.
Mulyono, T. P., 1993. Manjemen Perkreditan bagi Bank Komersiel. BPFE Yogyakarta.
Singarimbun M, Sufyan Effendi,1981. Metode Penelitian Survei, LPES Jakarta.
http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/hal_59GB_ok.pdf

Nama kelompok :
Garnis Suciati Sukanda 22210955
Ratna Sapitri 25210671

PENGKAJIAN TENTANG DAMPAK PROGRAM STIMULAN DENGAN POLA BERGULIR MELALUI KOPERASI DIBIDANG PETERNAKAN, PERIKANAN DAN PERKEBUNAN


PENGKAJIAN TENTANG DAMPAK PROGRAM STIMULAN DENGAN POLA BERGULIR MELALUI KOPERASI DIBIDANG PETERNAKAN, PERIKANAN DAN PERKEBUNAN

Abstrak
mengidentifikasi dampak dari program stimulasi dengan teknik bergulir melalui kooperatif dalam hewan, perikanan dan sektor pertanian untuk peternak atau petani kooperatif dan lokasi aspek dalam ekonomi, sosial dan budaya, mengevaluasi keefektifan rangsangan
program melalui teknik bergulir untuk mencapai program yang tujuan utama, menyusun kebijakan dalam rangka pemberdayaan dengan teknik bergulir dalam koperasi di sektor hewan, perikanan dan pertanian, tingkat peningkatan pendapatan petani dan peternak dan kesejahteraan nelayan untuk
mereka yang bekerja secara profesional dan mandiri termotivasi. Penelitian ini dilakukan di 23 provinsi dan 44 regences. Ini consisst data primer dan secunder. Metode ini menggunakan analisis deskriptif dan regresi simultan. Stimulasi program dengan teknik bergulir belum menunjukkan positif
dampak di kedokteran hewan, perikanan, dan sektor pertanian. Dampak program ini rata-rata masih rendah dengan elastisitas dari 1, bahkan beberapa yang negatif.
PENDAHULUAN
Dalam rangka memacu kinerja dan kontribusi koperasi dan usaha kecil dan menengah (KUKM) dalam perekonomian, maka perlu dilakukan upaya pengidentifikasian serta pemecahan masalah yang dihadapi oleh KUKM. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM berusaha menstimulir pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui kebijakan pembinaan dan pengembangan Koperasi dan UKM dengan mengembangkan program yang bersifat stimulan dalam bentuk bantuan perkuatan sarana dan permodalan dengan pola bergulir. Penyelenggaraan program tersebut bertujuan untuk :
(a) meningkatkan aktivitas ekonomi pedesaan
(b) meningkatkan volume usaha koperasi
(c)meningkatkan penyerapan tenaga kerja
(d) meningkatkan semangat berkoperasi
(e)meningkatkan pendapatan anggota,
(f) membangkitkan etos kerja.
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
Terminologi dan Definisi Operasional
Dana bergulir (revolving fund) sering diartikan sebagai dukungan dana yang proses pemanfaatannya dibatasi berdasarkan kegunaan dan waktu dengan pola penggunaan secara bergulir (pengalihan beruntun) dari penerima bantuan pertama kepada penerima bantuan berikutnya. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan program dana bergulir adalah dukungan perkuatan modal yang diberikan oleh pemerintah/Kementerian Koperasi dan UKM kepada masyarakat yang disalurkan melalui koperasi primer untuk dimanfaatkan dengan pola bergulir.
METODE
Lokasi dan objek penelitian
Penelitian ini dilakukan di 23 propinsi (Sumut, Sumbar, Riau, Lampung, Sumsel, Bengkulu, Babel, Jambi, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Bali, NTB, NTT, Sulsel, Sultra, Sulut, Maluku) pada 44 kabupaten. Desain penelitian dimulai dengan menentukan unit analisis atau sampel penelitian terdiri dari : model ekonomi sosial untuk unit penelitian koperasi, model ekonomi sosial untuk unit penelitian anggota koperasi.
Instrumen dan variabel penelitian
Model ekonomi sosial untuk unit koperasi sebagai berikut :
(1) fungsi aset koperasi, ASK = f (JA, PS, KK),
(2) fungsi jumlah tenaga kerja koperasi, JP = f (KPS, JA, N, B, LTK, PS),
(3) fungsi jumlah jam kerja koperasi, LTK = f(JP, PAK, MAT, MBT, SPK),
(4) fungsi biaya produksi, CPK = f (OMK, MAT, MBT),
(5) fungsi pendapatan penjualan (omset) kopersi, OMK = f (LTK, ASK, CPK),
(6) Persamaan pendapatan (laba/rugi) operasional koperasi, PTK = OMK – CPK

Jumlah jam kerja koperasi per hari, MAT = rata-rata tingkat pendidikan penurus koperasi, MBT = rata-rata lama bekerja pengurus koperasi, OMK = pmset koperasi, PAK = partisipasi anggota koperasi, PS = nilai nominal program stimulan, PTK = pendapatan total koperasi, SPK = sarana produksi koperasi (kualitas aset koperasi), N = koperasi yang menerima bantuan dana bergulir di sektor peternakan, I = koperasi yang menerima bantuan dana bergulir di sektor perikanan, B = koperasi yang menerima bantuan dana bergulir di sektor perkebunan.
Model ekonomi sosial untuk unit anggota koperasi sebagai berikut :
(1) fungsi jumlah jam kerja anggota, LKD = f (JP, PS, LU, EKA, KB, N)
(2) fungsi nilai penjualan (omset) anggota, OMA = f(LTA, PS, KB, CPA, KA),
(3) fungsi partisipasi anggota dalam kegiatan koperasi (semangat berkoperasi), PA = f(PS, EKA, LU, N),
(4) fungsi etos kerja anggota, EKA = f (ICA, PAK, PDA, UA, JAK, N),
(5) fungsi biaya produksi anggota, CPA = f (OMA, JP, PDA, KB),
(6) persamaan pendapatan anggota dari usaha yang dikelola dengan bantuan dana bergulir, ICA = OMA . CPA.
Keterangan : CPA = biaya per bulan rata-rata yng dikeluarkan anggota untuk usaha yang mendapatkan bantuan dana bergulir, EKA = etos kerja anggota, ICA = pendapatan anggota (laba/rugi usaha) dari usaha yangmendapatkan bantuan dana bergulir, JAK = jumlah anggota keluarga, JP = jumlah pekerja yang terlibat dalam usaha yang dikelola oleh anggota dan mendapatkan bantuan dari program stimulan, KA = kondisi alam; keseuaian kondisi alam dan lingkungan tempat usaha yangmendapatkan bantuan program stimulan, KB = kondisi bantuan; kualitas fisik bantuan program stimulan yang diterima oleh anggota, LTA = totsl jam kerja ratarata perhari untuk usaha yang dijalankan anggota dan mendapatkan bantuan dari program dana bergulir, LU = lama usaha, untuk usaha yang mendapatkan bantuan dari program dana bergulir, N = anggota koperasi yang mendapat bantuan dibidang peternakan, OMA = besarnya nilai omset rata-rata perbulan dari usaha yang dijalankan anggota dan mendapatkan bantuan dari program dana bergulir, PAK = partisipasi anggota koperasi, PDA = tingkat pendidikan anggota, PA = nilai nominal program stimulan.
Analisa Dampak Program Dana Stimulan
Analisa Dampak untuk Unit Penelitian Koperasi
1. Persamaan ASK (Aset Koperasi)ASK = 4.6851472 + 0.184866 JA + 0.737966 PS + 0.589085 KK Dari hasil evaluasi model persamaan ASK didapatkan nilai .Adjusted Rsquared . sebesar 0.800180, artinya persamaan ASK memiliki tingkat ketepatan hasil estimasi sesuai model sebesar 80,02%. Rendahnya nilai elastisitas dampak jumlah anggota terhadap aset koperasi menunjukkan bahwa rata-rata tingkat simpanan anggota koperasi masih sangat rendah, sehingga pengaruhnya terhadap aset pun kecil. Dari koperasi yang diteliti, sebagian besar asetnya adalah berasal dari pengucuran dana stimulan. Sedangkan kontribusi modal awal koperasi terhadap aset juga masih relatif kecil. Hal ini disebabkan karena pada saat pendirian koperasi, modal awal yang disetor anggota relatif kecil.
2. Persamaan OMK (Omset Koperasi) OMK = 1.501374 + 1.501374 LTK + 0.031343 ASK + 0.810265 CPK Dari hasil evaluasi model persamaan ASK didapatkan nilai .Adjusted Rsquared. sebesar 0.977275, artinya hasil estimasi persamaan OMK memiliki tingkat ketepatan estimasi persamaan OMK memiliki tingkat ketepatan estimasi 97.73%. Dari persamaan ini dapat diketahui bahwa progresifitas kenaikan biaya produksi koperasi setelah mendapatkan program stimulan lebih tinggi dibandingkan progresifitas kenaikan omsetnya. Hal ini disebabkan karena produktivitas usaha koperasi yang didanai program stimulan belum maksimal karena umur produksi yang belum sampai pada titik optimal. Disisi lain, omset koperasi berpotensi untuk ditingkatkan secara progresif jika jumlah jam kerja koperasi ditingkatkan. Sedangkan peningkatan aset koperasi masih sangat rendah pengaruhnya terhadap peningkatan aset. Hal Ini disebabkan karena kapasitas produksi koperasi masih cukup besar, namun Jumlah jam kerja koperasi masih belum maksimal.
3. Persamaan CPK (Biaya Produksi Koperasi) CPK = (1.825815) + 1.093764 OMK + 0.310514 MAT . 0.221591 MBT Dari hasil evaluasi model persamaan ASK didapatkan nilai .adjusted Rsquared sebesar 0.980168, artinya hasil estimasi persamaan OMK memiliki tingkat ketepatan estimasi sesuai model sebesar 98,02%. Progresifitas peningkatan biaya produksi koperasi masih lebih tinggi dibandingkan dengan progresifitas peningkatan omset koperasi. Hal ini disebabkan karena rata-rata manajemen koperasi masih belum ditangani secara profesional dan umur usaha yang masih belum tahap optimal sehingga tidak menghasilkan pola produksi yang efektif dan efisien. Disamping itu efisiensi biaya produksi masih potensial untuk ditingkatkan seiring dengan peningkatan pengalaman kerja pengurus koperasi. Hal ini disebabkan ratarata koperasi yang diteliti masih berusia sangat muda sehingga tingkat pengalaman kerja pengurus pun masih rendah. Disisi lain dalam penelitian ini ditemukan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan pengurus, maka biaya produksi semakin meningkat
4. Persamaan LTK (Jumlah Jam Kerja Koperasi) LTK = 1.682687 + 0.923436 JP + 0.129656 PAK + 0.348845 MAT 4.3. 0.018451 MBT – 0.291965 SPK Dari hasil evaluasi model persamaan ASK didapatkan nilai “adjusted R-squared” sebesar 0.942499, artinya hasil estimasi persamaan OMK memiliki tingkat ketepatan estimasi sesuai model sebesar 94,25%. Dari penelitian ini ditemukan bahwa peningkatan jumlah jam kerja sebagian besar masih ditentukan oleh jumlah pekerja, sementara jumlah jam kerja rata-rata per pekerja masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena koperasi adalah unit produksi yang bersifat padat karya, bukannya padat modal. Sementara tingkat partisipasi anggota masih relatif kecil dampaknya terhadap peningkatan jumlah jam kerja. Hal ini disebabkan karena keterlibatan anggota koperasi lebih diarahkan kepada unit-unit usaha yang dikelola oleh anggota.
5. Persamaan JP (Jumlah Pekerja) JP = (2.016274) + 0.664387 KPS + 0.162760 JA – 0.518682 LTK + 1.014212 N + 0.931257 B + 0.989898 PS Dari hasil evaluasi model persamaan ASK didapatkan nilai “adjusted R-squared” sebesar 0.840729, artinya hasil estimasi persamaan OMK memiliki tingkat ketepatan estimasi sesuai model sebesar 84.07%. Perbandingan antara rata-rata jumlah pekerja koperasi dengan rata-rata jumlah anggota koperasi memiliki skala perbandingan 1 : 6. rata-rata jumlah pekerja koperasi yang bergerak di sektor peternakan lebih banyak dari jumlah pekerja koperasi yang bergerak di sektor perikanan. Namun rata-rata jumlah pekerja koperasi yang bergerak di sektor perkebunan lebih sedikit dari jumlah pekerja koperasi yang bergerak di sektor perikanan.
6. .Persamaan PTK (Pendapatan Total Koperasi) PTK =OMK – CPK, artinya pendapatan operasional koperasi adalah hasil penjualan total (omset) koperasi setelah dikurangi dengan total biaya produksi koperasi. Jika persamaan fungsional biaya produksi koperasi disubstitusikan

Kesimpulan
1) Program stimulan dengan pola bergulir belum menunjukkan dampak yang positif dibidang peternakan, perikanan dan perkebunan. Dampak program rata-rata masih rendah dengan angka elastisitas kurang dari 1, bahkan ada yang negatif. Dampak Program yang relatif rendah diakibatkan oleh
a) ketidaktepatan penentuan penerima bantuan
b) kualitas pasokan bantuan dari pihak ketiga (pemasok), dan
c) umur produksi bantuan belum memasuki fase optimum karena kurang dari 2 tahun. Sedangkan usia produksi untuk beberapa program belum memasuki masa perguliran (diantaranya sapi, pabrik kelapa sawit, pabrik pengolahan susu, kapal ikan dan pabrik es).
2) Pengalokasian dana stimulan untuk koperasi yang bergerak di sektor perkebunan dan peternakan rata-rata dampaknya lebih signifikan bila dibandingkan dengan dampak dana stimulan yang diberikan pada koperasi yang bergerak di sektor perikanan. Secara keseluruhan dari kelima aspek dampak yang diteliti dapat menunjukkan bahwa jika dana stimulan disalurkan kepada koperasi, maka dampaknya yang ditimbulkan akan lebih besar dibanding disalurkan kepada anggota

Saran
1. Penentuan penerima bantuan harus benar-benar memperhitungka kesiapan pengelolaan penjiwaan terhadap kopersi serta kecocokan dengan kondisi alam agar pelaksanaannya menjadi lebih baik. Penentuan pihak ketiga harus diseleksi secara ketat agar dana stimulan yang diterima koperasi/anggota terjamin kualitasnya.
2. Pembinaan terhadap usaha yang didanai program stimulan harus terus ditingkatkan karena baik kopersi maupun anggota masih memiliki berbagai kelemahan baik pada aspek teknis maupun manajemen.
3. Karena sifatnya sebagai modal penyertaan maka pengawasan dinas koperasi terhadap program stimulan harus ditingkatkan termasuk dalam pelaksanaan perguliran. Diperlukan komitmen dan kerjasama yang tinggi baik di tingkat koperasi, dinas koperasi maupun Kementerian Negara Koperasi dan UKM terhadap program.

DAFTAR PUSTAKA
Bahrin. 1996. Etos Kerja, Penerapan Teknologi dan Karakteristik Sosial Ekonomi
Rumah Tangga (Kasus Tiga Desa Tertinggal di Kabupaten Bengkulu Selatan).
Program Pascasarjana IPB. Bogor.
http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/hal_47GB_ok.pdf

Nama kelompok :
Garnis Suciati Sukanda 22210955
Ratna Sapitri 2521067

Evaluasi Program Bantuan Dana Bergulir Melalui KSP/USP Koperasi (Pola PKPS-BBM, Agribisnis dan Syariah)

Evaluasi Program Bantuan Dana Bergulir Melalui KSP/USP Koperasi (Pola PKPS-BBM, Agribisnis dan Syariah)

abstrac
Penelitian terdiri beberapa aspek evaluasi program dana bergulir dan untuk beberapa alasan artikel dalam publikasi ini berfokus pada analisis efek. Studi pada analisis dampak program dana bergulir untuk memberdayakan Koperasi Tabungan dan Pinjaman, termasuk bisnis yang SMEA sebagai anggota dari koperasi-mengungkapkan beberapa menarik . Beberapa dari mereka yang diusulkan untuk digunakan dalam restrukturisasi kebijakan bergulir dana program.
I. Pendahuluan
Upaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dalam banyak hal dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dunia usaha. Dalam konteks ini, pengembangan bisnis usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih menghadapi kendala klasik yaitu permodalan. Inti permasalahannya adalah kondisi internal UMKM yang belum memenuhi persyaratan dan prosedur di lembaga keuangan, sedangkan lembaga keuangan menganut prinsip kehati-hatian (prudential principles). Dalam kaitan ini, koperasi simpan pinjam (KSP) dan Unit Simpan Pinjam Koperasi (USP Koperasi) diharapkan menjadi lembaga intermediasi untuk mengatasi kebutuhan modal UMKM, tanpa mengabaikan prinsip yang berlaku. Dewasa ini, tercatat sekitar 36.700 unit KSP/USP Koperasi, dengan anggota/nasabah sekitar 10,5 juta orang, asset lebih kurang Rp. 6,5 trilyun dan pinjaman yang disalurkan antara Rp. 4,5-6,0 trilyun. Data ini merefleksikan peran substansial dan kapasitas KSP/USP Koperasi dalam mobilisasi dana untuk mendorong kekuatan UMKM kearah yang lebih produktif dan mandiri. Sementara itu, sejak tahun 2001 pemerintah melalui Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM (Kementerian KUKM) telah menyalurkan bantuan dana perkuatan bagi KSP/USP Koperasi yang bersumber dari Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Program perkuatan dimaksud bersifat stimulan dalam bentuk penyaluran dana bergulir (revolving fund) dengan jumlah bervariasi. Nilai sebesar Rp. 100 juta diberikan kepada KSP/USP Koperasi Pola PKPS-BBM, Rp. 1 milyar untuk KSP/USP Koperasi Pola Agribisnis, dan KSP/ USP Syariah sebesar Rp. 50 juta. Tujuan program dana bergulir ini antara lain adalah untuk
a). meningkatkan aktivitas dan pendapatan UMKM melalui pelayanan simpan pinjam; 
b). meningkatkan kemampuan dan jangkauan layanan KSP/USP
Koperasi, di sektor agribisnis
c). meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pengelola KSP
d). meningkatkan akses anggota dan calon anggota untuk memperoleh pelayanan pinjaman dari KSP/USP Koperasi; khusus bagi KSP/ USP Koperasi Syariah adalah memberdayakan UMKM melalui kegiatan usaha yang berbasis Syariah. Melalui program ini, keberadaan KSP/USP Koperasi
diharapkan lebih bermanfaat bagi anggotanya dan sekaligus memperkokoh kepercayaan masyarakat terhadap koperasi. Sehubungan dengan itu, artikel ini secara khusus menyajikan ringkasan hasil kajian evaluasi dari aspek analisis pengaruh (effect analysis) program dana bergulir terhadap kinerja KSP/USP Koperasi.
2. TUJUAN DAN SASARAN KAJIAN
Tujuan kajian adalah : 
1) Mengidentifikasi kegiatan usaha KSP/USP Koperasi dengan Pola PKPS BBM, Pola Agr ibisnis dan Pola Syariah
2) Mengetahui dampak program dana bergulir terhadap usaha KSP/USP Koperasi dengan Pola PKPS BBM, Agribisnis dan Syariah
3) 3) Menyusun model alternatif program perkuatan dana bergulir. Adapun sasaran kajian adalah tersedianya bahan kebijakan tentang pembinaan KSP/USP Koperasi pengelola program dana bergulir dengan Pola Agribisnis dan Pola Syariah.
3. METODOLOGI KAJIAN
3.1 Lingkup Kegiatan
Program yang dievaluasi adalah program dana bergulir 
a) Pola PKPS-BBM (periode tahun 2000-2004); 
b) Pola Agribisnis (tahun 2003-2004); dan 
c) Pola Syariah (tahun 2003-2004). 
Cakupan kajian meliputi : 
a) identifikasi konsep program, analisis operasionalisasi program; 
b) analisis kinerja KSP/USP Koperasi penerima bantuan dana bergulir;
c) analisis pengaruh program terhadap KSP/USP Koperasi, anggota koperasi dan masyarakat UMKM;
d) merumuskan model alternatif program dana bergulir.
3.3 Metode Penetapan Contoh (Sampling Method)
Lokasi kajian berada di tujuh provinsi yaitu, Provinsi Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Pengambilan contoh (sample) KSP/USP Koperasi dilakukan secara sengaja (purposive sampling method) yaitu enam unit KSP/USP Koperasi di setiap propinsi (dari populasi 42 KSP/USP Koperasi). Selanjutnya, dipilih secara acak 10 orang responden anggota KSP/USP Koperasi dan 10 responden UKM masyarakat yang bukan anggota KSP/USP Koperasi.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Data primer dihimpun melalui seperangkat instrumen (kuesioner) terstruktur baik untuk sampel KSP/USP Koperasi maupun untuk responden anggota dan non anggota koperasi, melalui observasi dan wawancara mendalam (observation and in-depth research).
3.5 Metode Analisis
Semua data dianalisis dengan metode deskripstif dan metode statistik inferensial. Hasil kajian yang disajikan disini hanya meliputi analisis pengaruh (Effect Analysis) yaitu evaluasi pengaruh program terhadap kinerja KSP/USP Koperasi (sebagai lembaga intermediary) dan target groups (beneficiaries) yaitu anggota dan non anggota koperasi. Analisis dibatasi kepada aspek (a) kinerja umum berdasarkan Pedoman Klasifikasi Koperasi, dan (b) evaluasi Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Bergulir dengan metode before and after perguliran dana pada beberapa variabel dinamika seperti jumlah dana yang diterima dan disalurkan. Berbagai dinamika tersebut diukur melalui Statistical Packages for Social Sciences (SPSS) versi 10, pada sejumlah cuplikan (contoh) secara berpasangan (paired) dan tidak berpasangan (independent).
IV. Hasil Analisis
4.1 Profil Umum KSP/USP Contoh
Secara keseluruhan ditemukan profil KSP/USP Koperasi contoh dengan heterogenitas keragaan yang sangat tinggi menurut klasifikasinya. Keterangan :
• Pendugaan nilai parameter contoh dilakukan dengan nilai pemusatan berdasarkan Median agar mewakili distribusi contoh dengan heterogenitas yang sangat tinggi
• Perlakuan terhadap umur KSP/USP Koperasi Contoh tanpa memperhatikan aspek badan hukumnya.
Program dana bergulir dengan pola PKPS-BBM dan pola Agribisnis, umumnya dilaksanakan oleh KSP/USP Koperasi berklasifikasi A, sedangkan pola Syariah oleh KSP/USP Koperasi kelas B. Untuk semua pola, tidak ditemukan perbedaan nyata dalam ragam umur KSP/USP Koperasi contoh (sekitar 5-8 tahun), dan tampaknya pengalaman dalam melayani anggota/nasabahnya relatif seragam. Jumlah anggota KSP/USP Koperasi contoh dengan pola PKPS-BBM dan Agribisnis relatif lebih tinggi (antara 156-165 anggota) dibandingkan dengan KSP/USP contoh pola Syariah (sekitar 53 orang). Perbedaan ini ditengarai karena plafond bantuan dana per anggota yang dilayani pada pola Agribisnis lebih tinggi dibandingkan dengan kedua pola lainnya. Jumlah anggota yang dilayani KSP/USP Koperasi contoh (semua pola) selama tiga tahun terakhir hampir seragam (antara 123-150 anggota/nasabah). Terdapat kecenderungan, KSP/USP Koperasi contoh pola Agribisnis mampu melayani anggota lebih banyak dibandingkan dengan koperasi lainnya. Menarik pula disimak, bahwa tingkat tunggakan anggota/nasabah pada KSP/USP Koperasi pola Syariah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kedua pola lainnya. Diduga kapabilitas manajemen KSP/USP Koperasi pola Syariah menjadi salah satu penyebabnya. Dari sisi jenis kegiatan produksi, ditemukan adanya keragaan yang hampir serupa dalam hal nasabah/anggota yang dilayani KSP/USP Koperasi contoh pola PKPSBBM dan Syariah pola PKPS-BBM dan Syariah. Bagian terbesar jenis kegiatan yang dilayani adalah perdagangan dan usaha kecil lainnya (52-59 persen), sedangkan kegiatan pertanian dan peternakan tidak lebih dari 25 persen. Hal ini tampaknya sejalan dengan lokasi koperasi yang lebih dekat dengan pusat kota atau pasar. Sementara itu, kegiatan anggota/nasabah yang dilayani oleh KSP/ USP Koperasi pola Agribisnis sebagian besar didominasi oleh kegiatan pertanian/ peternakan (hampir 56 persen). Hal inipun ditengarai karena faktor lokasi kegiatannya yang terletak di kawasan perdesaan dengan kegiatan pokok di bidang pertanian.
Keterangan :
Penggunaan nilai pemusatan (Median) berarti jumlah kegiatan pada setiap pola tidak menunjukkan angka 100 persen. Angka dalam kurung adalah hasil penyesuaian dengan menormalisasi ukuran pemusatan yang menunjukkan share kegiatan produktif per jenis kegiatan pada setiap pola. Contoh: pada pola PKPSBBM dari keseluruhan anggota/nasabah yang dilayani, sekitar 22,42 persen kegiatan utamanya adalah bertani/berternak; 15,70 persen sebagai produsen; 52,91 persen sebagai pedagang, dan sisanya 8,97 persen pada kegiatan lainnya.
4.2 Proses Impelementasi Program Dana Bergulir Kepada KSP/USP Koperasi
Efektivitas proses penyaluran dan penerimaan bantuan perkuatan program dana bergulir dievaluasi berdasarkan variabel penilai dalam petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan petunjuk teknis (Juknis) program dana bergulir. Dalam hal persepsi terhadap proses seleksi calon KSP/USP koperasi contoh, e. 50 persen menyatakan telah berlangsung dengan baik, sangat baik ± 35 persen dan hanya sebagian kecil yang menilai tidak cukup baik. Persepsi seleksi ini memperllihatkan bahwa manfaat yang baik dari proses seleksi berkorelasi positif dengan kualitas efek program perkuatan, seperti proses pencairan dana, pendampingan, penyaluran, tenaga pendamping, monitoring dan evaluasinya. Efektivitas proses pencairan dan penyaluran dana oleh bank pelaksana. Secara umum (> 70 persen) dinyatakan baik, sangat baik (20 persen) dan hanya sebagian kecil (< 5 persen) yang menganggap kurang baik. Hasil ini sangat mendukung aktivitas usaha anggota/non anggota di bidang pertanian yang sangat akrab dengan perubahan iklim. Sebab, bila pencairan dana sangat terlambat akan berdampak buruk kepada kinerja produksi yang pada gilirannya akan mempersulit proses pengembalian dana. Efektivitas proses pendampingan yang diterima KSP/USP koperasi contoh. Proses ini, umumnya dinilai telah berlangsung dengan baik (> 50 persen) bahkan sangat baik( 6-7 persen), selebihnya cenderung menilai kurang baik dan sangat buruk. Ilustrasi ini menegaskan bahwa proses pendampingan sangat dibutuhkan untuk .mengawal. proses perguliran kepada KSP/USP Koperasi. Sebab, masih banyak informasi yang mengungkap adanya proses pendampingan yang belum berjalan secara baik (dalam hal frekuensi dan kualitasnya), terutama di daerah luar Pulau Jawa dan di daerah remote. Tampaknya, inilah critical point yang perlu diprioritaskan di masa mendatang. Khusus mengenai efektivitas proses monitoring dan evaluasi, ditemukan 50 persen menyatakan telah dilaksanakan dengan baik dan d.10 persen sangat baik. Walaupun demikian, masih terdapat penilaian (<10 persen) bahwa proses ini belum dilaksanakan dengan baik. Resume evaluasi proses penyaluran dan penerimaan bantuan (semua pola) menggunakan analisis statistik non parametrik sebagai alat ukur kuantitatif pada data ordinal. Dalam hal ini digunakan analisis independen pada sejumlah .n. cuplikan dengan uji Kruskall Wallis (K-W) dan analisis Median, serta uji signifikansi Chi Square. Rangkuman hasil analisis menunjukkan bahwa pada umumnya ketiga pola perguliran tidak menunjukkan signifikansi statistik dalam perilaku proses penerimaan dan penyaluran dana, kecuali perbedaan perilaku dalam menilai manfaat seleksi pada ketiga pola (uji K-W menunjukkan perbedaan nyata pada a = 90 persen, sementara analisis Median menunjukkan perbedaan). Artinya, secara umum dapat dikatakan bahwa proses tersebut secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
4.4 Dinamika Kegiatan Bantuan Perkuatan Dana Pada KSP/USP Koperasi Pada prinsipnya, dinamika kegiatan tercermin dalam aspek manajemen KSP/ USP Koperasi ketika mengelola dan menyalurkan dana bantuan perguliran dengan mencakup efek manajerial, teknis, dan finansial/ekonomi, ketenagakerjaan. Dari aspek ketepatan waktu, dinamika penyaluran dana penyaluran ke KSP/USP Koperasi ditemukan relatif baik, hanya < 10 persen KSP/USP Koperasi yang menyatakan kurang baik, atau tidak sesuai dengan perencanaan. Berkenaan dengan dinamika ketepatan jumlah dana yang disalurkan ke KSP/USP Koperasi pada umumnya dinilai relatif baik, dan < 10 persen yang menyatakan jumlah dana perkuatan tidak sesuai dengan perencanaan semula. Jika analisis diseparasikan berdasarkan pola pergulirannya, ternyata penyaluran dana pada pola Agribisnis relatif lebih tepat waktu dibandingkan dengan kedua pola lainnya, meski secara keseluruhan ditemukan tidak berbeda nyata. Selanjutnya, dari sisi dinamika keragaan ketepatan sebaran dana, umumnya ditemukan relatif baik, meski tidak sebaik dalam hal ketepatan waktu dan jumlah. Ketepatan sebaran dana pada pola PKPS-BBM dan Agribisnis ditemukan relatif lebih baik dibandingkan dengan pola Syariah. Dari sisi kesesuaian mekanisme penyaluran dana perkuatan, ditemukan telah berlangsung dengan cukup baik meski di luar pulau Jawa masih diperlukan penyempurnaan sebab terdapat ketidaksesuaian dalam mekanisme penyalurannya. Jika analisis diseparasikan berdasarkan pola pergulirannya, diperoleh fakta bahwa dua pola perkuatan relatif menunjukkan keragaan yang hampir sama kecuali pola Agribisnis.
Dalam hal peran koperasi sebagai institusi intermedier, persepsi yang ditemukan ternyata menunjukkan fakta yang cukup baik. Berbagai pihak, baik anggota masyarakat, pemuka, anggota koperasi, pengurus maupun pihak-pihak yang diwawancarai mengemukakan keragaan yang cukup baik. Selanjutnya untuk menganalisis variabel yang mempengaruhi kinerja koperasi dalam perguliran dana bantuan dipergunakan model ekonometrik yang berbentuk hubungan kausal antara variabel dependen dan independen. Variabel dependen mempresentasikan kinerja
(a) ketepatan waktu penyaluran dana, 
(b) ketepatan jumlah penyaluran dana, 
(c) ketepatan sebaran penyaluran dana, dan
(d) kesesuaian mekanisme penyaluran dana. Sedangkan variabel independennya adalah 
(1) proses seleksi penerimaan bantuan, 
(2) kemanfaatan proses seleksi,
(3) efektivitas proses pencairan dana, 
(4) efektivitas proses pendampingan, 
(5) efektivitas penyaluran oleh Bank Pelaksana, 
(6) efektivitas tenaga pendamping, dan 
(7) pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi. 
Untuk komparasi, dalam pola perguliran dana dipergunakan variabel boneka (dummy variables), yaitu (a) pola PKPS-BBM,
(b) pola Agribisnis, dan 
(c) pola Syariah.
Pengukuran terhadap Ketepatan Waktu dalam Proses Penyaluran dan Penerimaan
Bantuan Perkuatan oleh KSP/USP Koperasi menggunakan model :
[KSP]1 = f (Ps, Ms, Efc, Efd, Efb, Efp, Mv)
Hasil analisis regresi menunjukkan keragaan estimasi parameter yang cukup layak sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan. Secara umum, fungsi regresi dengan nilai dugaan determinasi sebesar 65 persen menunjukkan bahwa fungsi ini cukup mampu menjelaskan formulasi hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen. Variabel indikator proses seleksi dan manfaat seleksi, menunjukkan pengaruh nyata dalam menjelaskan perilaku ketepatan waktu penyaluran dan penerimaan bantuan perguliran. Artinya, bila proses penyaluran dan penerimaan bantuan perkuatan dikehendaki lebih tepat waktu, maka harus disertai faktor proses seleksi dan persepsi manfaat program seleksi yang lebih baik bagi calon-calon koperasi penerima manfaat program perguliran tersebut. Secara statistik tidak terdapat pengaruh nyata untuk menjelaskan perilaku proses penyaluran dan penerimaan dana perguliran secara tepat waktu. Perlu diungkapkan, bahwa pada ketiga pola perguliran, dugaan model yang dibangun dengan variabel boneka tidak menunjukkan perbedaan perilaku dalam masalah ketepatan waktu penyaluran dan penerimaan dana. 

Kesimpulan
Program pola perkuatan dana melalui pola perguliran pada dasarnya adalah suatu upaya kelembagaan (institutional building) yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kinerja usaha UKM/anggota KSP/USP Koperasi. Hal ini sekaligus untuk meningkatkan kinerja KSP/USP Koperasi sebagai lembaga intermediasi dalam program perguliran dana. Dalam kerangka yang lebih luas, program ini diharapkan menjadi inisiasi dan trigger untuk mengembangkan perekonomian wilayah melalui aktivitas ekonomi produktif sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah bersangkutan. Secara teoritis, dalam kerangka kelembagaan, aturan main (rules of the game) dan aturan representasi (rules of the representation) sangat perlu dituangkan dalam bentuk petunjuk program perguliran dana. Aspek-aspek penting di dalam aturan tersebut harus senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai keadilan sebagai prasyarat kecukupan (sufficient condition, selain nilai-nilai efisiensi sebagai prasyarat keharusan (necessary conditon). Nilai keadilan sebagai prasyarat pokok keberhasilan program, dapat diuji dengan pertanyaan : 
a. apakah sumberdaya program perguliran untuk usaha anggota koperasi/UKM telah
terdistribusi secara adil; 
b. apakah aturan main telah mencerminkan distribusi program secara adil;
c. apakah akses terhadap peluang KSP/USP untuk ikut serta dalam program telah terdistribusi secara adil, dan
d. apakah peluang UKM/anggota koperasi telah terdistribusi secara adil pula? Memang tidak mudah menelaah aspek-aspek nilai tersebut secara kuantitatif, namun kajian ini telah berusaha mengevaluasi seluruh bangunan kelembagaan program perguliran. Telaahan dilakukan mulai dari bentuk konsep, pelaksanaan hingga pengaruh program, sesuai dengan batasan-batasan yang ada. Beberapa indikator telah dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan untuk pengembangan KSP/USP Koperasi. Program dana bergulir saat ini telah berkembang pada aspek jumlah maupun keragaman disain modelnya. Semula program ini lebih bersifat sosial, kemudian dikembangkan menjadi program dana bergulir dengan mengatur penggunaan maupun pengembaliannya. Metodenya telah diarahkan pada sasaran pemenuhan permodalan secara bergulir agar terdistribusi lebih merata calon peserta lainnya.
Komponen dalam struktur organisasi kelembagaan program dana bergulir saat ini adalah :
(a) lembaga sumberdana perguliran; 
(b) pelaksana dan penanggungjawab kegiatan dana bergulir; 
(c) bank pelaksana; 
(d) fasilitator/pendamping anggota koperasi/UKM penerima bantuan dana bergulir;
(e) KSP/USP Koperasi sebagai lembaga intermediasi yang menerima dan menyalurkan dana bergulir; dan 
(f) Kelompok Kerja (Pokja) tingkat Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota yang berfungsi menetapkan peserta perguliran, mengawasi dan menilai kesehatan usaha KSP/USP Koperasi dan hal-hal teknis lainnya.

Disain struktur kelembagaan program seperti ini, biasanya menghadapi masalah klasik, yaitu :
1. Efektivitas aspek-aspek pemantauan, evaluasi dan pelaporan dalam aplikasiprogram dana bantuan bergulir, terutama sejak saat dana dialokasikan/dicairkan kepada penerima manfaat program
2. Efektivitas pengendalian dan pengambilan tindakan oleh pembina (pemerintah) dalam menerapkan sanksi akibat penyimpangan yang terjadi, karena seringkali belum tersedia disain korektif untuk memperbaiki kinerja dari KSP/USP Koperasi yang kurang berhasil.
3. Efektivitas fungsi pendampingan, bagi KSP/USP Koperasi, anggota koperasi/UKM penerima manfaat bantuan dana bergulir. Dalam hal ini termasuk aspek pengendalian, pengawasan dan evaluasi operasional pada proses perguliran.
4. Kelembagaan yang bersifat proyek (project based), umumnya menimbulkan masalah tambahan bagi pelestarian program (program sustainability), sehingga dampaknya seringkali membuat tambahan kesulitan khususnya kalau dikaitkan dengan upaya menjaga konsistensi aplikasi disain kebijakan dan arah bantuan perkuatannya.
5. Lemahnya pengaturan administrasi dalam pengembalian dana bergulir yang seringkali menumbuhkan kesulitan dalam proses second stage of revolving yaitu pengumpulan kembali dana bergulir yang telah tersebar ini secara aman, cepat dan tertib, dan tepat waktu. Tampaknya diperlukan rancang bangun kelembagaan yang lebih mantap dari struktur dan proses yang ada pada saat ini.

Daftar pustaka
http://www.smecda.com/kajian/files/jurnal/Hal_21.pdf
Nama kelompok :
Garnis Suciati Sukanda 22210955
Ratna Sapitri 25210671