EKONOMI RAKYAT INDONESIA
sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm
sumber : http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm
Abstrak
ekonomi rakyat, adalah apakah kita perlu mengawali dengan sebuah definisi ekonomi rakyat yang akan kita dalami dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Memang kami (panitia) berambisi bahkan sebelum pertemuan terakhir tanggal 2 Juli 2002, semua peserta seminar, atau sebagaian besar, sudah akan benar-benar mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat dan bagaimana kita bersikap terhadapnya. Keinginan kita yang lain tentu saja adalah untuk menghilangkan kesan amat keliru bahwa kata atau konsep ekonomi rakyat (dan ekonomi kerakyatan) adalah konsep yang baru lahir bersamaan dengan gerakan reformasi menjelang dan setelah lengsernya Presiden Soeharto (1997-98).
Pendahuluan
istilah ekonomi rakyat sebelum munculnya gerakan reformasi 1997/1998. bahwa ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang juga sering disebut sektor informal. Tetapi karena tahun 1997 seorang konglomerat yang sangat berkuasa. Lalu apa ganti istilah yang lebih dapat diterima atau lebih terhormat? Istilah itu adalah ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan lebih sedikit lagi orang menggunakan, dan yang sedikit ini termasuk Sarbini Sumawinata (1985). Tetapi karena istilah ekonomi kerakyatan ini dikenalkan kembali tahun 1997 oleh seorang konglomerat yang “sangat berkuasa” untuk mengganti istilah ekonomi rakyat yang tidak disukainya, maka berhasillah konsep itu masuk TAP MPR yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No. XVI/1998. Dan istilah ekonomi kerakyatan ini kemudian semakin dimantapkan dalam banyak TAP-TAP MPR berikutnya termasuk kemudian UU No. 25/2000 tentang Propenas. Bahwa konsep Ekonomi Kerakyatan ini merupakan konsep politik yang “dipaksakan” nampak kemudian dari penggunaannya yang simpang siur. Dan puncak dari kesimpangsiuran ini berupa keraguan Presiden Megawati dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001.
ISI
EKONOMI RAKYAT SEBAGAI ASET NASIONAL
Hernando De Soto 10 tahun lalu menulis buku yang juga menyakinkan berjudul The Other Parth yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia seharusnya ”Ekonomi Rakyat.” Tetapi karena istilah ekonomi rakyat dianggap kata “haram” dan ”berbau komunis”, maka kata tersebut diterjemahkan ”Masih Ada jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga”, yang kiranya tidak pernah dibaca oleh pakar-pakar ekonomi Indonesia yang “terlalu pintar” untuk memberikan perhatian pada ekonomi rakyat yang ”tidak ada apa-apanya”. istilah ekonomi rakyat dipicu oleh konglomerat yang anak Penguasa karena sangat murka disebut “Batara Kala yang serakah” (Makassar, 1997). Demikian dalam waktu 6 bulan (September 1997 - Maret 1998), konglomerat bersangkutan, yang sangat berkuasa, bersumpah ”menghapus kata ekonomi rakyat dari GBHN 1993”, dan sejak itu muncullah kata atau istilah yang dianggap lebih terhormat yaitu ekonomi kerakyatan. Sayangnya, pemerintahan Habibie, yang tinggal menerima saja konsep ini terpaksa menelan pil pahit dianggap keliru dan ”berpolitik terlalu populis” yaitu “memusuhi konglomerat untuk membela rakyat”. Hasilnya, pakar-pakar ekonomi Neoklasik / Neoliberal menghujat konsep ekonomi kerakyatan sebagai konsep politik yang ”ideologis”, yang tak ilmiah, dan tak sesuai dengan sistem ekonomi pasar (bebas) yang mereka gandrungi, dan yang dianggap satu-satunya sistem ekonomi yang ”benar” sejak runtuhnya tembok Berlin 1989.
Demikianlah rupanya pakar-pakar ekonomi kita di Indonesia memang tidak membaca, tidak mau tahu, apalagi menerapkan konsep-konsep ”ekonomi rakyat” yang disampaikan Hernando De Soto. Itulah sebabnya, Parakitri T. Simbolon ”memerintahkan” para penguasa dan penasehat ahli Indonesia Modal Mati. Konsep kunci De Soto adalah bahwa aset atau hak milik di Negara-negara berkembang tidak dapat dimanfaatkan alias mati (dead capital). Modal yang mati ini berupa rumah di tanah yang tidak jelas pemiliknya, perusahaan yang tidak berbadan hukum, dan industri tersebar yang tidak dilihat investor. Karena tidak tercatat maka kekayaan laksana ”berlian” seperti itu tidak siap dialihkan jadi modal sosial. Di Indonesia pelaku-pelaku ekonomi (rakyat) yang modalnya kecil, bahkan gurem, berasal dari pinjaman koperasi yang kecil-kecil, arisan kampung, pegadaian, atau dari keluarga dekat, tidak dianggap sebagai investasi karena investasi harus merupakan kredit besar berasal dari Bank. Demikian dalam persamaan Keynesian ekonomi makro (Y = C + I + G), rakyat kecil dianggap hanya berkonsumsi (C), sedangkan I (investasi) hanya dapat dilakukan pengusaha besar. Maka sejak krisis moneter 1997-1998 pakar-pakar ekonomi arus utama selalu menyatakan di Indonesia tidak ada lagi investasi, karena para investor ”sedang klenger”, dan bahkan para pengusaha nasional dan investor-investor asing melarikan modal mereka ke luar negeri yang ditaksir mencapai USD 10 milyar per tahun (Anwar Nasution, 2001). Mereka yang bukan pakar ekonomi disuruh percaya adanya “pelarian modal besar-besaran” ini agar untuk menahannya, atau untuk menarik kembali modal tersebut, pemerintah harus memberikan perangsang khusus berupa tax holiday atau tingkat suku bunga tinggi atau perangsang lain. Jika hal ini dilakukan maka terjadilah yang paling dikhawatirkan De Soto, modal dan kekayaan dalam negeri yang potensial lebih diabaikan (dimatikan) lagi.
Kebiasaan menganggap enteng pemodal dalam negeri (domestik) terutama dari ekonomi rakyat (kecil), dan kekaguman pada modal asing, makin menonjol setelah dibukanya pasar uang dan pasar modal di Jakarta (BEJ, 1977). Mengapa? Karena dalam BEJ berkumpul para ”fund manager” dari seluruh dunia yang pekerjaan utamanya memang “berdagang uang” dan melipatgandakan nilai uang mereka. Makin besar untung mereka sebagai pedagang uang makin besar penghasilan mereka. Uang atau modal yang dijualbelikan di BEJ ini bisa secara keliru dianggap sebagai “investasi asing yang riil”, dan penarikannya ke luar negeri dianggap pelarian modal (capital flight), padahal sebenarnya tidak demikian. Banyak modal asing ini sekedar diperdagangkan di Jakarta dan tidak pernah diinvestasikan disektor riil.
Dari trilyunan dolar Amerika yang diperjualbelikan sehari-hari, hanya 5 % yang berkaitan dengan perdagangan dan transaksi ekonomi substantif lainnya. Sembilan puluh lima persen sisanya terdiri dari spekulasi dan arbitrase, saat para pedagang yang memiliki sejumlah besar uang mencari keuntungan yang cepat dari fluktuasi nilai tukar dan perbedaan suku bunga
“Prospek” Indonesia Masa Depan. Banyak ilmuwan Indonesia ”merasa bisa” meramalkan masa depan Indonesia tanpa secara sungguh-sngguh menjelaskan mengapa kita mempunyai masalah yang kita hadapi sekarang. Jika ilmuwan kita ”meramal” ke depan dan memberikan resep-resep kebijakan agar masa depan itu lebih baik, tanpa menerangkan ”sejarah” terjadinya masalah riil yang kita hadapi sekarang, maka tentulah ilmuwan yang bersangkutan menyusun ”asumsi-asumsi” yang jika, dan hanya jika (asumsi-asumsi terpenuhi), kebijakan-kebijakan yang dianjurkan akan dapat berjalan. Namun, jika ilmuwan menggunakan terlalu banyak asumsi yang tidak realistis, maka berarti ilmuwan yang bersangkutan hanya berteori (berpikir deduktif), padahal banyak teori-teori ekonomi yang berasal dari Barat ini sering keliru atau tidak tepat bagi Indonesia.
Demikian ilmu ekonomi sebenarnya akan lebih bermanfaat jika dapat ”menjelaskan” berbagai sebab-akibat dari fenomena masyarakat, dan dari penjelasan-penjelasan tersebut masyarakat dapat mawas diri dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuat di masa lalu. Mawas-diri dan mengoreksi merupakan syarat bagi ditemukannya tindakan atau kebijakan yang lebih baik di masa datang. Dianjurkan kepada para cerdik-pandai terutama pakar-pakar ekonomi untuk lebih menahan diri dan tidak terlalu suka “meramalkan” masa depan dengan analisis atau pernyataan-pernyataan remedial (dengan resep-resep atau obat-obat) tanpa data-data empirik kenyataan masa lalu dan masa sekarang.
Dalam bidang ekonomi, kesalahan paling mendasar adalah sangat tidak memadainya rasa nasionalisme para pemimpin ekonomi kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang rendah (lebih kagum globalisasi) sama dengan rendahnya rasa percaya diri, yang dalam krisis moneter 1997-1998 hampir hilang sama sekali. Maka mengembangkan rasa percaya diri, bahwa bangsa Indonesia akan mempunyai kemampuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi dengan upaya sendiri, mutlak diperlukan. Hernando De Soto dengan menyakinkan menunjuk pada ”berlian” di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik, yaitu kekuatan “ekonomi rakyat” yang telah terbukti tahan-banting dalam situasi krismon, dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Bahwa ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada tahun 1998, dan mulai tahun 1999 dan seterusnya sudah tumbuh positif (meskipun kecil), hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi kesulitan.
Kesimpulan
selalu menahan diri dan tidak tertarik menulis ”prospek masa depan”, dengan alasan yang kami ajukan diatas yaitu bahwa tugas ilmuwan lebih baik ”menjelaskan” bukan ”meramal”. Menyusun prospek dalam bidang ekonomi lebih perlu lagi untuk tidak dilakukan secara gegabah karena teori-teori ekonomi yang ada, yang berasal dari Barat, pada umumnya tidak realistis, karena banyak menggunakan asumsi-asumsi yang sulit dipenuhi. Satu contoh kekeliruan fatal dari teori ekonomi Neoklasik/Neoliberal dari Barat sudah terjadi yaitu ketika krismon 1997-1998 diramalkan “tidak mungkin terjadi di Indonesia”. Dewasa ini pakar-pakar ekonomi bersilang pendapat tentang bisa tidaknya krisis ekonomi ala Argentina menyerang Indonesia. Dalam hal seperti ini kami selalu menolak untuk membuat ramalan. Yang kiranya cukup jelas adalah bahwa para pemimpin ekonomi Indonesia baik dari kalangan pemerintah, dunia bisnis, atau dari kalangan pakar, kami himbau untuk berpikir keras menyusun aturan main atau sistem ekonomi baru yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia sendiri. Jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa, maka kita tidak perlu merasa ragu-ragu mengacu pada Pancasila lengkap dengan lima silanya dalam menyusun sistem ekonomi yang dimaksud.
Daftar Pustaka
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm
Nama Kelompok :
* Garnis Suciati Sukanda 22210955
* Ratna Sapitri 25210671
ekonomi rakyat, adalah apakah kita perlu mengawali dengan sebuah definisi ekonomi rakyat yang akan kita dalami dalam pertemuan-pertemuan mendatang. Memang kami (panitia) berambisi bahkan sebelum pertemuan terakhir tanggal 2 Juli 2002, semua peserta seminar, atau sebagaian besar, sudah akan benar-benar mengerti dan memahami apa yang dimaksud dengan ekonomi rakyat dan bagaimana kita bersikap terhadapnya. Keinginan kita yang lain tentu saja adalah untuk menghilangkan kesan amat keliru bahwa kata atau konsep ekonomi rakyat (dan ekonomi kerakyatan) adalah konsep yang baru lahir bersamaan dengan gerakan reformasi menjelang dan setelah lengsernya Presiden Soeharto (1997-98).
Pendahuluan
istilah ekonomi rakyat sebelum munculnya gerakan reformasi 1997/1998. bahwa ekonomi rakyat adalah sektor kegiatan ekonomi orang kecil (wong cilik) yang juga sering disebut sektor informal. Tetapi karena tahun 1997 seorang konglomerat yang sangat berkuasa. Lalu apa ganti istilah yang lebih dapat diterima atau lebih terhormat? Istilah itu adalah ekonomi kerakyatan. Istilah ekonomi kerakyatan lebih sedikit lagi orang menggunakan, dan yang sedikit ini termasuk Sarbini Sumawinata (1985). Tetapi karena istilah ekonomi kerakyatan ini dikenalkan kembali tahun 1997 oleh seorang konglomerat yang “sangat berkuasa” untuk mengganti istilah ekonomi rakyat yang tidak disukainya, maka berhasillah konsep itu masuk TAP MPR yaitu TAP Ekonomi Kerakyatan No. XVI/1998. Dan istilah ekonomi kerakyatan ini kemudian semakin dimantapkan dalam banyak TAP-TAP MPR berikutnya termasuk kemudian UU No. 25/2000 tentang Propenas. Bahwa konsep Ekonomi Kerakyatan ini merupakan konsep politik yang “dipaksakan” nampak kemudian dari penggunaannya yang simpang siur. Dan puncak dari kesimpangsiuran ini berupa keraguan Presiden Megawati dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 2001.
ISI
EKONOMI RAKYAT SEBAGAI ASET NASIONAL
Hernando De Soto 10 tahun lalu menulis buku yang juga menyakinkan berjudul The Other Parth yang terjemahannya dalam bahasa Indonesia seharusnya ”Ekonomi Rakyat.” Tetapi karena istilah ekonomi rakyat dianggap kata “haram” dan ”berbau komunis”, maka kata tersebut diterjemahkan ”Masih Ada jalan Lain : Revolusi Tersembunyi di Negara Dunia Ketiga”, yang kiranya tidak pernah dibaca oleh pakar-pakar ekonomi Indonesia yang “terlalu pintar” untuk memberikan perhatian pada ekonomi rakyat yang ”tidak ada apa-apanya”. istilah ekonomi rakyat dipicu oleh konglomerat yang anak Penguasa karena sangat murka disebut “Batara Kala yang serakah” (Makassar, 1997). Demikian dalam waktu 6 bulan (September 1997 - Maret 1998), konglomerat bersangkutan, yang sangat berkuasa, bersumpah ”menghapus kata ekonomi rakyat dari GBHN 1993”, dan sejak itu muncullah kata atau istilah yang dianggap lebih terhormat yaitu ekonomi kerakyatan. Sayangnya, pemerintahan Habibie, yang tinggal menerima saja konsep ini terpaksa menelan pil pahit dianggap keliru dan ”berpolitik terlalu populis” yaitu “memusuhi konglomerat untuk membela rakyat”. Hasilnya, pakar-pakar ekonomi Neoklasik / Neoliberal menghujat konsep ekonomi kerakyatan sebagai konsep politik yang ”ideologis”, yang tak ilmiah, dan tak sesuai dengan sistem ekonomi pasar (bebas) yang mereka gandrungi, dan yang dianggap satu-satunya sistem ekonomi yang ”benar” sejak runtuhnya tembok Berlin 1989.
Demikianlah rupanya pakar-pakar ekonomi kita di Indonesia memang tidak membaca, tidak mau tahu, apalagi menerapkan konsep-konsep ”ekonomi rakyat” yang disampaikan Hernando De Soto. Itulah sebabnya, Parakitri T. Simbolon ”memerintahkan” para penguasa dan penasehat ahli Indonesia Modal Mati. Konsep kunci De Soto adalah bahwa aset atau hak milik di Negara-negara berkembang tidak dapat dimanfaatkan alias mati (dead capital). Modal yang mati ini berupa rumah di tanah yang tidak jelas pemiliknya, perusahaan yang tidak berbadan hukum, dan industri tersebar yang tidak dilihat investor. Karena tidak tercatat maka kekayaan laksana ”berlian” seperti itu tidak siap dialihkan jadi modal sosial. Di Indonesia pelaku-pelaku ekonomi (rakyat) yang modalnya kecil, bahkan gurem, berasal dari pinjaman koperasi yang kecil-kecil, arisan kampung, pegadaian, atau dari keluarga dekat, tidak dianggap sebagai investasi karena investasi harus merupakan kredit besar berasal dari Bank. Demikian dalam persamaan Keynesian ekonomi makro (Y = C + I + G), rakyat kecil dianggap hanya berkonsumsi (C), sedangkan I (investasi) hanya dapat dilakukan pengusaha besar. Maka sejak krisis moneter 1997-1998 pakar-pakar ekonomi arus utama selalu menyatakan di Indonesia tidak ada lagi investasi, karena para investor ”sedang klenger”, dan bahkan para pengusaha nasional dan investor-investor asing melarikan modal mereka ke luar negeri yang ditaksir mencapai USD 10 milyar per tahun (Anwar Nasution, 2001). Mereka yang bukan pakar ekonomi disuruh percaya adanya “pelarian modal besar-besaran” ini agar untuk menahannya, atau untuk menarik kembali modal tersebut, pemerintah harus memberikan perangsang khusus berupa tax holiday atau tingkat suku bunga tinggi atau perangsang lain. Jika hal ini dilakukan maka terjadilah yang paling dikhawatirkan De Soto, modal dan kekayaan dalam negeri yang potensial lebih diabaikan (dimatikan) lagi.
Kebiasaan menganggap enteng pemodal dalam negeri (domestik) terutama dari ekonomi rakyat (kecil), dan kekaguman pada modal asing, makin menonjol setelah dibukanya pasar uang dan pasar modal di Jakarta (BEJ, 1977). Mengapa? Karena dalam BEJ berkumpul para ”fund manager” dari seluruh dunia yang pekerjaan utamanya memang “berdagang uang” dan melipatgandakan nilai uang mereka. Makin besar untung mereka sebagai pedagang uang makin besar penghasilan mereka. Uang atau modal yang dijualbelikan di BEJ ini bisa secara keliru dianggap sebagai “investasi asing yang riil”, dan penarikannya ke luar negeri dianggap pelarian modal (capital flight), padahal sebenarnya tidak demikian. Banyak modal asing ini sekedar diperdagangkan di Jakarta dan tidak pernah diinvestasikan disektor riil.
Dari trilyunan dolar Amerika yang diperjualbelikan sehari-hari, hanya 5 % yang berkaitan dengan perdagangan dan transaksi ekonomi substantif lainnya. Sembilan puluh lima persen sisanya terdiri dari spekulasi dan arbitrase, saat para pedagang yang memiliki sejumlah besar uang mencari keuntungan yang cepat dari fluktuasi nilai tukar dan perbedaan suku bunga
“Prospek” Indonesia Masa Depan. Banyak ilmuwan Indonesia ”merasa bisa” meramalkan masa depan Indonesia tanpa secara sungguh-sngguh menjelaskan mengapa kita mempunyai masalah yang kita hadapi sekarang. Jika ilmuwan kita ”meramal” ke depan dan memberikan resep-resep kebijakan agar masa depan itu lebih baik, tanpa menerangkan ”sejarah” terjadinya masalah riil yang kita hadapi sekarang, maka tentulah ilmuwan yang bersangkutan menyusun ”asumsi-asumsi” yang jika, dan hanya jika (asumsi-asumsi terpenuhi), kebijakan-kebijakan yang dianjurkan akan dapat berjalan. Namun, jika ilmuwan menggunakan terlalu banyak asumsi yang tidak realistis, maka berarti ilmuwan yang bersangkutan hanya berteori (berpikir deduktif), padahal banyak teori-teori ekonomi yang berasal dari Barat ini sering keliru atau tidak tepat bagi Indonesia.
Demikian ilmu ekonomi sebenarnya akan lebih bermanfaat jika dapat ”menjelaskan” berbagai sebab-akibat dari fenomena masyarakat, dan dari penjelasan-penjelasan tersebut masyarakat dapat mawas diri dan mengoreksi kekeliruan-kekeliruan yang telah dibuat di masa lalu. Mawas-diri dan mengoreksi merupakan syarat bagi ditemukannya tindakan atau kebijakan yang lebih baik di masa datang. Dianjurkan kepada para cerdik-pandai terutama pakar-pakar ekonomi untuk lebih menahan diri dan tidak terlalu suka “meramalkan” masa depan dengan analisis atau pernyataan-pernyataan remedial (dengan resep-resep atau obat-obat) tanpa data-data empirik kenyataan masa lalu dan masa sekarang.
Dalam bidang ekonomi, kesalahan paling mendasar adalah sangat tidak memadainya rasa nasionalisme para pemimpin ekonomi kita. Perwujudan rasa nasionalisme yang rendah (lebih kagum globalisasi) sama dengan rendahnya rasa percaya diri, yang dalam krisis moneter 1997-1998 hampir hilang sama sekali. Maka mengembangkan rasa percaya diri, bahwa bangsa Indonesia akan mempunyai kemampuan mengatasi masalah-masalah ekonomi yang dihadapi dengan upaya sendiri, mutlak diperlukan. Hernando De Soto dengan menyakinkan menunjuk pada ”berlian” di negara-negara berkembang yang tak pernah dikenali oleh pemerintah maupun para perencana pembangunan. Inilah potensi domestik, yaitu kekuatan “ekonomi rakyat” yang telah terbukti tahan-banting dalam situasi krismon, dan telah menyelamatkan ekonomi Indonesia dari kehancuran total. Bahwa ekonomi Indonesia hanya mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) satu tahun saja pada tahun 1998, dan mulai tahun 1999 dan seterusnya sudah tumbuh positif (meskipun kecil), hendaknya dicatat sebagai bukti bahwa sektor ekonomi rakyat dalam waktu pendek telah pulih kembali meskipun ekonomi sektor modern masih menghadapi kesulitan.
Kesimpulan
selalu menahan diri dan tidak tertarik menulis ”prospek masa depan”, dengan alasan yang kami ajukan diatas yaitu bahwa tugas ilmuwan lebih baik ”menjelaskan” bukan ”meramal”. Menyusun prospek dalam bidang ekonomi lebih perlu lagi untuk tidak dilakukan secara gegabah karena teori-teori ekonomi yang ada, yang berasal dari Barat, pada umumnya tidak realistis, karena banyak menggunakan asumsi-asumsi yang sulit dipenuhi. Satu contoh kekeliruan fatal dari teori ekonomi Neoklasik/Neoliberal dari Barat sudah terjadi yaitu ketika krismon 1997-1998 diramalkan “tidak mungkin terjadi di Indonesia”. Dewasa ini pakar-pakar ekonomi bersilang pendapat tentang bisa tidaknya krisis ekonomi ala Argentina menyerang Indonesia. Dalam hal seperti ini kami selalu menolak untuk membuat ramalan. Yang kiranya cukup jelas adalah bahwa para pemimpin ekonomi Indonesia baik dari kalangan pemerintah, dunia bisnis, atau dari kalangan pakar, kami himbau untuk berpikir keras menyusun aturan main atau sistem ekonomi baru yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia sendiri. Jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa, maka kita tidak perlu merasa ragu-ragu mengacu pada Pancasila lengkap dengan lima silanya dalam menyusun sistem ekonomi yang dimaksud.
Daftar Pustaka
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm
Nama Kelompok :
* Garnis Suciati Sukanda 22210955
* Ratna Sapitri 25210671
Tidak ada komentar:
Posting Komentar